A. Gereja sebagai Umat Allah
Berdasarkan pengalaman dan pembicaraan sehari-hari kita
mendapati ada dua gambaran dan pemahaman mengenai Gereja, yaitu gereja sebagai
tempat untuk beribadah (berupa gedung/bangunan) dan Gereja sebagai suatu
persekutuan umat (kumpulan umat beriman). Hal tersebut tidak hanya dalam arti
fisik, melainkan dalam arti yang lebih rohani. Meskipun terdapat dua pengertian
mengenai Gereja, dalam banyak pembicaraan dan tulisan sebenarnya arti Gereja
yang kedualah yang lebih sering dimaksudkan. Mengapa demikian? Tentu ada alasannya
mengapa istilah Gereja lebih sering dimaksudkan sebagai persekutuan umat
daripada sebagai tempat. Untuk itu, kita akan diajak memahami apa arti dan
makna Gereja itu, asal usulnya, ciri dan dasarnya, serta berbagai konsekuensi
yang dikembangkan
1. Arti dan Makna Gereja
Sebagai Umat Allah.
Jika
mendengar kata “Gereja”, yang terbayang dalam pikiran kita tentulah sebuah
gedung atau kumpulan orang, yang secara spontan, Gereja dihubungkan dengan
gedung tempat orang Kristiani beribadat, tempat untuk merayakan ekaristi dan
melangsungkan doa-doa. Jika ditulis dengan huruf kecil “gereja’ berarti
bangunan tempat beribadat, sedangkan jika ditulis dengan huruf besar, “Gereja”,
dimaksudkan lebih kepada kumpulan orang. Namun demikian gambaran tersebut belum
mengungkapkan hakikat Gereja yang sebenarnya.
Kata
Gereja dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan kata igreja dalam
bahasa Portugis. Kata igreja dalam bahasa Portugis pun merupakan terjemahan
kata ecclesia dalam bahasa Latin. Dan kata ecclesia itu
sendiri juga merupakan terjemahan kata Yunani ekklesia.
Dalam bahasa Yunani kata ekklesia bisa berarti rapat, sidang, perkumpulan atau
berkumpul. Dengan kata lain, kata ekklesia sebagai asal mula kata Gereja
berhubungan dengan orang-orang yang berkumpul. Tetapi dalam konteks agama
Kristen, orang-orang yang berkumpul itu memiliki kekhasan karena mereka
dipersatukan oleh iman yang sama, yaitu iman kepada Yesus Kristus. Itulah
sebabnya mengapa kata Gereja lebih sering dipahami sebagai persekutuan umat
daripada sebagai tempat, meskipun dalam perkembangan selanjutnya gereja juga diartikan
sebagai tempat bersekutunya orang-orang yang beriman kepada Yesus Kristus itu.
Maka, kata ekklesia atau Gereja dipakai sebagai kata yang
berarti “jemaat atau umat yang dipanggul secara khusus”. Gereja adalah umat
yang dipanggil Tuhan.
Pengertian
Gereja sebagai “Umat Allah bukan semata-mata fisik, melainkan yang rohani. Kita
perlu tahu bahwa Gereja adalah umat Allah. Gereja adalah umat terpilih dari
Allah.Sebutan umat Allah menekankan pada dua hal penting, pertama, bahwa
Gereja bukanlah pertama-tama organisasi manusiawi, melaikan perwujudan karya
Allah yang konkret. Tekanan ada pada pilihan dan kasih Allah. Kedua, Gereja
itu bukan hanya awam dan hierarki saja, melainkan seluruhnya sebagai umat
Allah.
2. Ciri-ciri Gereja
Sebagai Umat Allah.
Untuk dapat menemukan ciri-ciri Gereja
sebagai umat Allah, kita dapat menemukan dan melihat pengertian Gereja,
kemudian menjabarkan unsur-unsur yang membentuk Gereha.
Dikatakan
sebagai umat Allah, karena inisiatif pertama datang dari Allah sendiri, Allah
memilih umat-Nya menjadi bangsa pilihan-Nya, Umat Allah dipilih oleh Allah
sendiri, melalui iman akan Yesus Kristus. Dengan demikian ciri umat Allah
yang pertama adalah bahwa panggilan itu berasal dari Allah.
Tujuan
Allah memanggil umat-Nya adalah untuk menyelamatkan dunia, dengan memilih
manusia mau menunjukkan kepada manusia hubungan atau komunikasi antara Allah
dan manusia. Hubungan itu telah diperjelas dalam diri Kristus. Demikian juga
Gereja memperjelas hubunngan atau komunikasi Allah dan manusia dalam Lumen
Gentium art 1. ”Gereja itu di dalam Kristus bagaiman sakramen, yaitu
tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh manusia”.
Sebagai tanda dan sarana, Gereja harus dapat dinikmati oleh indra manusia.
Lewat tanda dan sarana tersebut, sebenarnya mau diungkapkan sesuatu yang
mendalam. Bila Gereja sebagai tanda dan sarana, yaitu sebagai sakramen, berarti
keberadaan Gereja mengungkapkan kesatuan mesra antara manusia dengan Allah.
kesatuan itu menjadi cirikedua yang membuat Gereja disebut sebagai
Umau Allah. kesatuan yang membawa karya keselamatan bagi seluruh manusia. Pada
intinya Gereja bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan agar karya
keselamatan menjangkau semua orang diseluruh dunia dalam hubungannya dengan
Allah atau sesama manusia.
Dalam
perjalanan sejarah, hubunngan mesra Allah dengan manusia dimateraikan atau
diresmikan dalam suatu perjanjian yaitu perjanjian cinta kasih (ciri ketiga).
Cinta kasih menjadi dasar perjanjian manusia dengan Allah. Sebagaimana
digambarkan bagaimana bangsa Israel melakukan perjalanan menuju tanah terjanji.
Demikianlah juga Gereja sebagai umat Allah berciri selalu dalam perjalanan
menuzi perziarahan ketanah terjanji, yaitu rumah Bapa. (ciri keempat)
Dengan
demikian, ciri Gereja sebagai umat Allah terlihat dari panggilan dan inisiatif
Allah, persekutuan, hubungan mesra antara manusia dengan Allah, karya
keselamatan dan perziarahan yag tak kunjung habis menuju rumah Bapa.
3. Dasar dan Konsekuensi
Gereja sebagai Umat Allah.
Jika
Gereja sebagai Umat Allah, maka ada dasar dan konsekuensi yang terus
dikembangkan. Sebagai umat Allah, tidak lagi terbedakan mereka yang tertabhis
dan non tertabhis, biarawan/biarawati. Kesatuan tidak lagi didasarkan pada
struktural organisatoris melainkan pada Roh Allah sendiri yang telah menjadikan
Umat-Nya sebagai bangsa terpilih. Dengan demikian kita diajak untuk menyadari
bahwa sebagai warga umat Allah, kita masing-masing secara pribadi dipanggil
untuk melibatkan diri secara penuh dalam kehidupan menggereja. Hal ini yang
menjadi dasar dan konsekuensi penting, jika Gereja sebagai umat Allah.
Dasar
dari Gereja sebagai umat Allah adalah Pertama, hidup menjemaat
pada dasarya merupakan, hakikat Gereja itu sendiri, sebab hakikat Gereja adalah
persaudaraan dan cinta kasih seperti yang dicerminkan oleh hidup jemaat perdana
(Kis 2:41-47). Kedua, perlu disadari bahwa hidup menggereja
atau menjemaat, ada banyak karisma atau karunia yang tumbuh dan berkembang
dikalangan umat yang dapat dilihat adn diterima dan digunakan sedemikian rupa
demi kekayaan seluruh anggota Gereja. Lih. 1Kor 12:7-10).Ketiga, dalam
hidup menjemaat, kita semua memiliki martabat dan tanggunngjawab yang sama dan
secar aktif terlibat sesuai dengan fungsi masing-masing. Hal ini diperlukan
agar kita bisa membangun hidup menjemaat kita dan memberi lebih banyak
kesaksian kepada masyarakat di sekitar kita. (lih. 1Kor 12:12-18).
Sedangkan
konsekuensi dari Gereja sebagai Umat Allah adalah,
a. Konsekuensi bagi
pimpinan Gereja (hierarki)
- Menyadari fungsi
pimpinan sebagai fungsi pelayanan. Pimpinan bukan diatas umat, tetapi di tengah
umat.
- Harus peka untuk
melihat dan mendengar karisma dan karunia-karunia yang bertumbuh di kalangan
umat.
a. Konsekuensi bagi
setiap anggota umat
- Menyadari dan
menghayati persatuannya dengan umat lain. Orang tak dapat menghayati kehidupan
imannya secara individu saja.
- Aktif dalam kehidupan
mengumat, menggunakan segala karisma, karunia, dan fungsi yang dipercayakan
kepadanya untuk kepentingan dan misi Gereja di tengah masyarakat. Semua
bertanggung jawab dalam hidup dan misi Gereja.
b. Konsekuensi bagi
hubungan awam dan hierarki
- Paham Gereja sebagai
Umat Allah jelas membawa konsekuensi dalam hubungan antara hierarki dan kaum
awam. Kaum awam bukan lagi pelengkap penyerta (malah kadang-kadang pelengkap
penderita), melainkan partner hierarki.
- Awam dan hierarki
memiliki martabat yang sama, hana berbeda dalam hal fungsi.
Pada
intinya, kita masing-masing dipanggil untuk melibatkan diri secara penuh dalam
kehidupan umat Allah. melibatkan diri berarti terlibat dalam hidup “menjemaat”.
Artinya kita bersama-sama terlibat dalam satu persekutuan yang dihidupi oleh
kasih, bukan karena kuasa dan wewenang. Kasih menjadi dasar dan sarana yang
menyatukan kehidupan menjemaat. Aktivitas dan tindakan kita harus selalu
diperkaya oleh rupa-rupa roh dan karunia/karisma. Ropa-rupa roh dan karunia
saling melengkapi sehingga menjadi kebanggaan bersama dan bisa menjadi milik
bersama.
Setiap
dari kita dipanggil untuk menghayati martabat yang sama, yaitu sebagai umat
yang dipilih oleh Allah. kita diajak untuk setia terhadap funngsi kita
masing-masing tanpa harus merasa lebih dari yang lain. Masing-masing dari kita
harus membangun Gereja umat Allah dan memberi kesaksian kepada masyarakat luas.
Gereja yang bersaksi adalah gereja yang telah disatukan oleh Roh Allah.
Gereja
sebagai Umat Allah menjadikan Gereja kita terbuka, saling bekerja sama di
antara anggotanya, saling menghargai keberadaan, saling melengkapi atau
berbagai potensi yang ada. Hal ini yang menjadi konsekuensi, bagaimana Gereja mengelola
keterlibatan anggota-anggotanya serta peran sertanya. Oleh karena itu
masing-masing dari kita baik yang tertabhis maupun yang tidak tertabhis perlu
menyadari dan menghayati panggilan hidupnya sesuai dengan karunia dan karisma
yang diterima akan pentingnya nilai persatuan dan kesatuan serta kerja sama
dengan seluruh anggota umat Allah. Keterlibatan dan kerjasama semua anggota
umat Allah dapat menjadi daya dorong yang penting untuk tumbuh dan berkembang
membawa Gereja sebagai sakramen keselamatan. Pahan Gereja sebagai Umat Allah
ini membawa konsekuensi dalam hubungan natara Hierarki dan kaum awam. Kaum awam
bukan hanya sebagai pelengkap melainkan partner hierarki. Awam dan hierarki
memiliki martabat yang sama, hanya fungsi keduanya berbeda. Keduanya saling
melengkapi dan bekerja sama.
B. Gereja sebagai Persekutuan yang Terbuka
Paham
Gereja sebagai umat Allah, membuahkan bagaimana Gereja kita sekarang
ini dikembangkan dan bersikap. Khususnya menyangkut bagaimana pola kepemimpinan
Gereja. Pada bagian ini kita akan melihat dan mengenal
model-model yang dikembangkan dalam kepemimpinan Gereja kita, dan
bagaimana persatuan itu dibangun dari anggota dan para pemimpinnya dalam
keterbukaan dan partisipasi sebagai umat beriman untuk berkarya bagi dunia.
1. Perubahan Cara
Pandang tentang Model Gereja
Sebelum
Konsili Vatikan II, Gereja kita dipahami dengan begitu piramidal, bahwa yang
sedikit berada di atas dan menguasai yang bawah. Walau sedikit tetapi
menguasai. Dalam pola pikir yang demikian, hierarki inilah yang berkuasa
menentukan segala sesuatu bagi seluruh Gereja, sedangkan kaum awam atau umat
pada umumnya tinggal mengikuti. Seringkali, model ini lebih cenderung “pastor
sentris”. Hierarki atau pastor menjadi pusat semua gerak Gereja. Gereja model
piramidal ini sering disebut sebagai Gereja Institusional. Model Gereja ini
menonjol atau dikenal karena tertata rapi, dan para hierarki hampir identik
atau disamakan dengan Gereja itu sendiri. Mereka yang tertabhis memegang
kepemimpinan dan mengendalikan Gereja dengan cakupan wewenang yang luas.
Biasanya karena lebih mementingkan aturan. Gereja menjadi statis dan sarat
aturan. Gereja sering meresa sebagai satu-satunya penjamin kebenaran dan
keselamatan (Extra Eclesiam Nulla Salus), bahkan bersikap triumfalistik.
(memegahkan diri).
Pada
Konsili Vatikan II, pandangan Gereja yang lebih piramidal ini akhirnya
diperbaiki. Ada keterbukaan dan pembaruan cara pandang. Gereja dipahami bukan
lagi sebagai Gereja Piramidal yang lebih “hierarki sentris”, tetapi diubah
menjadi “Kristosentris”. Artinya, Kristuslah pusat hidup Gereja. Kaum hierarki
dan awam serta biarawan/biarawati mengambil bagian dalam tugas Kristus dengan
cara yang berbeda-beda sesuai dengan potebsi dan kemampuannya. Hal inilah yang
akhirnya membawa Gereja dipandang sebagai persekutuan umat atau umat Allah.
Dengan persekutuan umat sebenarnya mau mengungkapkan persaudaraan yang
dilandasi oleh kasi. Setiap anggota Gereja melibatkan diri dalam tugas
masing-masing untuk membangun Gereja. Tida ada yang merasa lebih hebat atau
merasa paling memiliki wewenang, tetapi seluruh umat terjun membangun
persekutuan hidup. Tidak hanya sekedar aturan dan hukum dalam hidup menggereja,
tetapi yang lebih penting adalah tumbuh dan berperannya hati nurani dan
tanggung jawab atas perkembangan Gereja. Gereja bersikap terbuka dan rela
berdialog untuk semua orang. Gereja menyakini bahwa di luar Gereja terdapat
keselamatan.
Gereja Katolik memiliki dua model
Gereja, yaitu model Gereja institusional hierarkis piramidal dan model Gereja
sebagai Persekutuan Umat.
Ø Gereja Institusional
Hierarkis piramidal sangat menonjol dalam hal-hal berikut.
Model Gereja institusional hierarkis
piramidal sangat menonjol dalam hal-hal berikut.
a. Organisasi (lahiriah)
yang berstruktur piramidal tertata rapi
b. Kepemimpinan tetahbis atau hierarki
hampir identik Gereja Khatolik, tentu membutuhkan
kepemimpinan yang kuat.
c. Hukum dan peraturan digunakan untuk
menata dan menjaga kelangsungan suatu institusi.
Suatu institusi, apalagi yang
berskala besar, tentu saja membutuhkan hukum dan peraturan
d. Sikap yang agak triumfalistik dan
tertutup. Gereja merasa sebagai satu-satunya penjamin
kebenaran dan
keselamatan/ Extra Eclesiam nulla salus (di luar Gereja
tidak ada keselamatan)
Ø Gereja sebagai
Persekutuan Umat
Model
Gereja sebagai Persekutuan Umat sangat menonjol dalam hal-hal berikut.
a. Hidup
persaudaraan karena iman dan harapan yang sama. Persaudaraan ini adalah
persaudaraan kasih.
b.
Keikutsertaan semua umat dalam hidup menggereja. Bukan saja hierarki dan
biarawan dan biarawati yang harus
aktiff dalam hidup menggereja, tetapi seluruh umat.
c.
Hukum dan peraturan memang perlu, tetapi dibutuhkan pula peranan hati nurani
dan tanggung jawab pribadi.
d.
Sikap miskin, sederhana, dan terbuka. Rela berdialog dengan pihak mana saja,
sebab Gereja yakin bahwa di luar Gereja
Katolik terdapat pula kebenaran dan keselamatan.
2. Gereja sebagai
Persekutuan Umat yang Terbuka
Gereja
adalah persekutuan Umat Allah. Dalam persekutuan umat itu, semua
nggota mempunyai martabat yang sama, memiliki fungsi yang berbeda-beda, dan
semakin terbuka terlibat mewarnai dunia. Gereja hadir dan berada untuk dunia.
Kegembiraan dan harapan, dukan dan kecemasan orang-orang zaman sekarang,
terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita merupakan kegembiraan dan
harapan, duka dan kecemasan murid-murid Kristus. Sebab persekutuan murid-murid
Kristus terdiri atas orang-orang yang dipersatukan di dalam Kristus, dibimbing
oleh Roh Kudus dalam peziarahan menuju Allah Bapa. Semua murid Kristus telah
menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang (bdk.
Gaudiumet Spes art. 1).
Panggilan
Gereja yang utama ialah menjadi utusan Krustus untuk menampakkan dan
menyalurkan cinta kasih Allah kepada semua orang dan segala bangsa. Tugas
perutusan ini adalah tugas seluruh umat Allah (LG art 17), masing-masing
seturut kemampuannya. Baik kaum hierarki maupun kaum awam serta
biarawan-biarawati mendapat tugas perutusan yang sama. Konsili menegaskan
dengan jelas kewajiban ini, yaitu untuk umat Allah yang hidup dalam
jemaat-jemaat, terutama dalam keuskupan-keuskupan dan paroki-paroki, jemaat-jemaat
wajib memberi kesaksian akan Kristus di hadapan segala bangsa.
Persekutuan
umat Allah harus menampakkan karya keselamatan Allah di dunia ini. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa Gereja menjadi tanda dan sarana
(sakramen) keselamatan bagi dunia. Setiap anggota Gereja dengan
caranya sendiri terlibat dan menggeluti persoalan-persoalan dunia untuk
membangun dan menyejahterakan umat manusia, setiap anggota Gereja mendapat
tugas berdasarkan potensi dan kemampuannya bagi terciptanya tata dunia yang lebih
baik. Dengan demikian anggota Gereja sungguh menyadari bahwa bukan hanya
dirinya satu-satunya yang terlibat di dalam masyarakat dengan segala persoalan
yang ada.
Gereja
pada zaman sekarang harus menjadi persekutuan yang terbuka. Dan perlu disadari
pentingnya ketebukaan, bukan hanya keterbukaan dengan sesama dalam iman dan
keyakinan melaikan keterbukaan terhadap agama yang lain, artinya kita membuka
berbagai kemungkinan dialog dan kerjasama yang baik dengan segala pihak yang
berjuang bersama. Dalam dialog iman dan kerjasama lintas agama, dapat
menumbuhkembangkan realitas sosial sebagai milik bersama. Dialog kehidupan dan
karya yang dikembangkan dapat menjadi tempat kerja sama dalam menyikapi
persoalan-persoalan kemanusiaan dan sosial kemasyarakatan demi memajukan kita
semua sebagai manusia ke taraf yang lebih manusiawi dan luhur.
Dalam
Kisah Para Rasul 4:32-37, Santo Paulus memberikan gambaran ideal tentang
suasana dan cara sebuah persekutuan umat perdana. Cara hidup umat perdana
memberikan kita buah kesadaran bahwa kebersamaan dalam persekutuan itu penting.
Hal-hal yang dapat terlihat, misalnya, segala sesuatu adalah milik
bersama, hidup dalam persaudaraan kasih, saling memberi dan menerima
sesuai kebutuhan, terbuka untuk semua orang, semangat dan keteladanan inilah
yang dapat kita contoh, yaitu kepekaan terhadap situasi sosial-ekonomi sesama
saudara dalam persekutuan umat. Kebersamaan kita dalam hidup menggereja tidak
hanya terbatas pada hal-hal rohani, tetapi juga harus menyentuh kehidupan sosial,
ekonomi, politik, dan budaya. Persekutuan umat Allah harus terbuka dan
menyentuh relung jiwa setiap anggotanya. Gereja hadir di dunia bukan untuk
dirinya sendiri, melainkan bagi dunia itu sendiri.
Dalam persekutuan mereka mengalami
dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarannya (bdk:
gaudium et spes, art 1) karena, persekutuan mereka terdiri atas orang-orang
yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam perziarahan
mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk
disampaikan kepada semua orang. Cara-cara yang ditempuh Gereja untuk
menunjukkan keterbukaannya: pertama, Berdialog dengan agama
lain. Gereja sesudah Konsili Vatikan II sungguh menyadari bahwa di luar agama
Katolik terdapat pula benih-benih kebenaran dan keselamatan. Untuk itu
dibutuhkan dialog untuk saling mengenal, menghargai dan memperkaya. Kedua, Kerja
sama atau dialog. Gereja hendaknya membangun kerjasama yang lebih intensif dan
mendalam dengan para pengikut agama-agama lain. Sasaran yang hendak diraih
adalah pembangunan manusia dan peningkatan martabat manusia. Berprestasi secara
aktif dan bekerja sama dengan siapa saja dalam membangun masyaarkat yang adil,
damai dan sejahtera.
Lebih
rinci untuk dapat menghayati konsekuensi Gereja sebagai umat Allah dan
pesekutuan yang terbuka, kita juga perlu melihat lebih detil atas konsekuensi
yang harus dihadiapi dari setiap anggota umat Allah.
a. Hierarki Gereja.
Adalah orang yag ditabhiskan untuk
tugas kegembalaan. 2 tugas hierarki adalah; pertama, menjalankan tugas
kepemimpinan dalam komunikasi iman. Hierarki mempersatukan umat beriman, tidak
hanya petunjuk, nasehat dan teladan tetapi juga dengan kewibawaan dan kekuasaan
kudus. Kedua, Hirarki menjalankan tugas-tugas gerejani, seperti merayakan
sakramen, mewartakan sabda, serta memberi ruang dan tempat bagi umat untuk
berperan aktif dalam ikut membangun Gereja dengan kharisma dan karunia yang
mereka miliki.
Gereja yang satu, kudus, Katolik dan
apostolik di dunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, lebih khusus lagi
sebagai suatu “serikat yang dilengkapi dengan jabatan hierarkis” (Lumen Gentium
8). Menurut ajaran resmi Gereja, struktur hierarkis termasuk hakikat
kehidupannya juga. Maka Konsili mengajarkan bahwa “atas penetapan Ilahi, para
Uskup menggantikan para Rasul sebagai gembala Gereja” (Lumen Gentium 20).
“Konsili suci ini mengajarkan dan menyatakan, bahwa Yesus Kristus, Gembala
Kekal, telah mendirikan Gereja kudus, dengan mengutus para Rasul seperti Ia
sendiri diutus oleh Bapa (lih. Yoh 20:21). Para pengganti mereka, yakni para
Uskup, dikehendaki-Nya menjadi gembala dalam Gereja-Nya hingga akhir zaman”
(Lumen Gentium 18).
b. Biarawan-biarawati
Seorang biarawan/biawarati adalah
anggota umat yang dengan mengucapkan kaul kemiskinan, ketaatan, dan keperawanan
ingin selalu bersatu dengan Kristus dan menerima pola nasib hidup Yesus Kristus
secara radikal, dan dengan demikian mereka menjadi tanda nyata dari hidup dalam
Kerajaan Allah kelak. Jadi, kaul-kaul itu adalah sesuatu yang khas dalam
kehidupan membiara. Kekhasan itu terletak dalam radikalitetnya menghayati
kemiskinan, ketaatan, dan hidup wadat. Harta dan kekayaan, kuasa dan kedudukan,
perkawinan dan kehidupan keluarga adalah sesuatu yang baik dan sangat bernilai
dalam hidup ini. Tetapi hendaknya diingat bahwa semua nilai-nilai itu adalah
relatif, tidak absolut dan abadi sifatnya. Dengan menghayati kaul-kaul
kebiaraan itu, para biarawan atau biarawati menjadi “tanda” Pertama; Yang
mengingatkan kita bahwa kekayaan, kekuasaan, dan hidup keluarga walaupun sangat
bernilai, tetapi tidak absolut dan abadi, maka kita tidak boleh
mendewa-dewakannya; Kedua; Yang mengarahkan kita pada Kerajaan
Allah dalam kepenuhannya kelak. Kita adalah umat musafir
c. Kaum Awam
Kaum
Awam; adalah: semua orang beriman sebagai warga gereja yang tidak
ditahbiskan Jadi awam meliputi biarawan, biarawati seperti suster, bruder (definisi
teologis) . Kaum awam adalah semua warga Gereja yang tidak ditahbiskan
dan juga bukan biarawan- biarawati (definisi tipologis)
yang dengan rahmat pembaptisannya
mereka menjadi anggota gereja dan dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam
tugas kristus sebagi imam, nabi dan raja. Kaum awam berperan dalam dalam dua
tugas kesarusal, baik kerasulan dalam membangun jemaat serta kerasulan dalam
tata dunia. Gereja tidak hadir di dunia untuk dirinya sendiri, tetapi juga
untuk dunia yang menjadi peranan kaum awam. Berdasarkan panggilan khasnya, awam
bertugas mencari Kerajaan Allah dengan mengusahakan hal-hal duniawi dan
mengaturnya sesuai dengan kehendak Allah. Mereka hidup di dunia, yakni dalam
semua dan setiap jabatan serta kegiatan dunia. Mereka dipanggil untuk
menjalankan tugasnya dan dibimbing oleh semangat injil, mereka dapat
menguduskan dunia laksana ragi. Medan tugas mereka adalah tata dunia, hidup
berkeluarga dan bermasyarakat serta hidup dalam segala bidang keduniawian
ipoleksosbuhankamnas.
Dalam
Konsili Vatikan II, ada 3 hal penting dan menjadi dasar persekutuan umat Allah
yang terbuka, “fraternitas” (persaudaraan), solidaritas
(kesetiakawanan) dan komunikasi (persekutuan). Dasar persekutuan tersebut
adalah iman. Gereja sebagai persekutuan dalam iman, harapan dan kasih (Lumen
Gentium art 8). Gereja juga disebut sebagai persekutuan orang-orang yang
sudah dikuduskan oleh Kristus dengan misteri salib-Nya, sehingga umat Allah
mewujudkan sebuah komunitas keselamatan bagi dunia.
“Semua
orang, yang dilahirkan kembali dalam Kristus, dijadikan raja oleh tanda salib,
sementara urapan Roh Kudus mentahbiskan mereka menjadi imam. Karena itu, semua
orang Kristen yang rohani dan berakal budi harus yakin bahwa mereka – terlepas
dari tugas-tugas khusus jabatan kami – berasal dari turunan rajawi dan mengambil
bagian dalam tugas-tugas seorang imam. Apa yang lebih rajawi daripada jiwa yang
dalam ketaatan terhadap Allah menguasai badannya? Dan apa yang lebih sesuai
dengan tugas-tugas imam daripada menyerahkan kepada Tuhan hati nurani yang
murni dan di atas altar hati mempersembahkan kepada Tuhan kurban tak bercela
yakni kesalehan?” (Leo Agung, serm. 4,1).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar