1. PERKEMBANGAN PEMAHAMAN PERKAWINAN
Dalam tahun-tahun setelah Konsili Vatikan II, pemahaman tentang Perkawinan Kristiani mengalami perkembangan yang pesat. Perkawinan yang semula dilihat hanya sebagi kontrak, kini dipandang sebagai perjanjian (covenant, foedus) yang membentuk suatu persekutuan hidup dan cinta yang mesra.
Dalam Kitab Hukum Kanonik 1917 (hukum lama), kan. 1013 dikatakan bahwa tujuan pertama perkawinan adalah mendapat keturunan dan pendidikan anak; sedangkan yang kedua adalah saling menolong sebagai suami dan sebagai obat penyembuh atau penawar nafsu seksual. Namun sekarang, dengan mengikuti ajaran ensiklik Humanae Vitae dari Paus Paulus VI, cinta suami istri dilihat sebagai elemen perkawinan yang esensial. Kodeks baru (KHK 83) dalam Kan 1055, $ 1 berbicara tentang hal itu dalam arti “bonum coniugum” (kebaikan, kesejahteraan suami-istri).
Hak atas tubuh suami-istri dalam kodeks lama merupakan tindakan yang sesuai bagi kelahiran anak. Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes (GS) no. 48 menekankan pemberian atau penyerahan diri seutuhnya (total self donation, total giving of self). Maka, perkawinan tidak dilihat sebagai suatu kesatuan antara dua badan (tubuh), melainkan suatu kesatuan antara dua pribadi (persona).
Ada beberapa cara orang memandang perkwaninan, yang terjadi ditengah masyarakat, pemahaman pandangan itu menjadi sebuah ikatat yang kemudian menjadi sebuah tradisi yang turun-temurun terjadi ditengan masyarakat.
1. Pandangan Traditional
Perkawinan pada umumnya merupakan suatu “ikatan”, yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga mengikat kaum kerabat si laki-laki dengan kaum kerabat si wanita dalam suatu hubungan tertentu
2. Pandangan Hukum (Yuridis)
Perkawinan merupakan suatu “Perjanjian” seorang pria dan wanita saling berjanji untuk hidup bersama, di depan masyarakat agama dan masyarakat negara.
3. Pandangan Sosiologi
Perkawinan merupakan suatu “Persekutuan Hidup”. Dalam lingkungan hidup ini, suami dan istri dapat mencapai kesempurnaan atau kepenuhan sebagai manusia, sebagai bapak dan sebagai ibu.
4. Pandangan Antropologis
Perkawinan sebagai suatu “Persekutuan Cinta”. Hidupperkawinan dimulai dari cinta dan akan berkembang atas dasar cinta.
5. Pandangan Umum
Persekutuan hidup-antara seorang pria-wanita yang terjadi karena persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembai dan harus diarahkan kepada saling mencintai sebagai suami-istri dan kepada pembangunan keluarga dan oleh karenanya menuntut kesetiaan yang sempurna, dan tidak mungkin diceraikan oleh siapapun, kecuali Allah.
6. Pandangan Agama-Agama
a. Pandangan Agama Islam
Nikah adalah hidup bersama antara suami istri, yang mengadakan ikatan lahir dan batin dalam hubungan yang sah dalam terang hukum agama atau undang-undang yang berlaku (Amir Taat Nasution)
b. Pandangan Agama Katolik
Perkawinan adalah suatu sakramen, suatu peristiwa di mana Allah bertemu dengan suami istri itu.
2. TUJUAN PERKAWINAN
1. UU Perkawinan RI : Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia, tetap dan sejahtera.
2. Dalam tradisi Gereja, KHK, kanon 1055: Tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi panggilan Tuhan, memperoleh kesejahteraan suami istri, dan kelahiran serta kesejahteraan anak
Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan hidup bersama sebagai suami istri pada umumnya adalah 1membantu satu sama lain, dengan saling memberikan dan mendapatkan pengertian dengan mengalami perkembangan berkat yang lain. 2. membantu satu sama lain dan membiarkan diri dibantu oleh pasangan dalam perjalanan hidup menuju kebahagiaan di dunia ini dan di akhirat.
Di dunia : dengan mengalami diri sebagai orang yang bermanfaatbagi yang lain, dengan memberikan dan mendapatkan pengertian, denganmengalami perkembangan berkat yang lain
Di akhirat : dengan bersatu denga Yang Mahabaik karena menjadi teman hidup yang setia.
3. PAHAM DASAR PERKAWINAN GEREJA KATOLIK
“Dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita membentu antara mereka kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen.” (Kan. 1055 $ 1)
a. Perjanjian Perkawinan
Perkawinan itu dari kodratnya adalah suatu perjanjian (covenant, foedus). Dalam tradisi Yahudi, perjanjian berarti suatu “agreement” (persetujuan) yang membentuk (menciptakan) suatu hubungan sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan mengikat sama seperti hubungan antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah. Konsekwensinya, hubungan itu tidak berhenti atau berakhir, sekalipun kesepakatan terhadap perjanjian itu ditarik kembali. Berdasarkan pilihan bebas dari suami-istri, suatu perjanjian sesungguhnya akan meliputi relasi antar pribadi seutuhnya yang terdiri dari hubungan spiritual, emosional dan fisik.
b. Kebersamaan Seluruh Hidup
Dari kodratnya perkawinan adalah suatu kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae. “Consortium”, con = bersama, sors = nasib, jadi kebersamaan senasib. Totius vitae = seumur hidup, hidup seutuhnya). Ini terjadi oleh perjanjian perkawinan. Suami istri berjanji untuk menyatukan hidup mereka secara utuh hingga akhir hayat (bdk. janji Perkawinan).
c. Antara Pria dan Wanita
Pria dan wanita diciptakan menurut gambaran Allah dan diperuntukkan satu sama lain, saling membutuhkan, saling melengkapi, saling memperkaya. Menjadi “satu daging” (Kej 2:24).
d. Sifat Kodrati Keterarahan kepada Kesejahteraan Suami-Istri (Bonum Coniugum)
Selain tiga “bona” (bonum = kebaikan) perkawinan yang diajarkan St. Agustinus, yakni (a) bonum prolis: kebaikan anak, bahwa perkawinan ditujukan kepada kelahiran dan pendidikan anak, (b) bonum fidei: kebaikan kesetiaan, menunjuk kepada sifat kesetiaan dalam perkawinan, dan (c) bonum sacramenti: kebaikan sakramen, menunjuk pada sifat permanensi perkawinan; Gaudium et Spes no. 48 menambah lagi satu “bonum” yang lain, yakni bonum coniugum (kebaikan, kesejahteraan suami-istri).
e. Sifat Kodrati Keterarahan kepada Anak
Perkawinan terbuka terhadap kelahiran anak dan pendidikannya. KHK 1983 tidak lagi mengedepankan prokreasi sebagai tujuan pertama perkawinan yang mencerminkan tradisi berabad-abad sejak Agustinus, melainkan tanpa hirarki tujuan-tujuan menghargai aspek personal perkawinan dan menyebut lebih dahulu kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum)
f. Perkawinan sebagai Sakramen
Perkawinan Kristiani bersifat sakramental. Bagi pasangan yang telah dibabtis, ketika mereka saling memberikan konsensus dalam perjanjian, maka perkawinan mereka menjadi sah sekaligus sakramen.
Sakramen artinya tanda. Perkawinan sebagai sakramen artinya perkawinan sebagai tanda;
1. Tanda Cinta Allah
Dalam sakramen perkawinan, suami adalah tanda kehadiran Allah untuk mencintai sang istri dan istri menjadi tanda cinta dan kebaikan Allah bagi sang suami. Mereka dipilih untuk menjadi utusan atau tangan Tuhan. Melalui suami istri Tuhan hadir menolong, menguatkan dan membahagiaakan pasangannya. Suami istri melakukan dan mengikrarkan janji dihadapan Tuhan dan umat beriman, itulah yang akan mereka teruskan selama hidup perkawinan mereka saling menyempurnakan atau saling menguduskan sebagai anak Allah.
2. Tanda Cinta Kristus kepada GerejaNya
Perkawinan Kriatiani menjadi gambaran dari hubungan cinta yang lebih mulia dari hubungan cinta yang mulia yaitu persatuan hidup Kristus dengan umatNya. Santo Paulus berkata, “Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya untuk menguduskannya.. .”
Jadi dapatlah kita menarik kesimpulan: cinta kasih suami istri di dukung oleh kesatuan Gereja, tetapi kesatuan yang berlangsung dalam perkawinan Kristiani.
4. SIFAT-SIFAT HAKIKI PERKAWINAN (Kan. 1056)
Kanon 1056 mengatakan: “Sifat-sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan tak terputuskan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus karena sakramen.”
Sifat-sifat hakiki perkawinan, yaitu monogami dan sifat tak terputuskannya ikatan perkawinan, termasuk paham Perkawinan Katolik. Patut diperhatikan bahwa penafsiran serta penerapannya di dalam Gereja Katolik tak jarang berbeda dengan di kalangan non-Katolik. Kedua sifat hakiki ini berkaitan erat sekali, sehingga perkawian kedua tidak sah, meskipun suami-istri perkawinan pertama telah diceraikan secara sipil atau menurut hukum agama lain, karena Gereja Katolik tidak mengakui validitas atau efektivitas perceraian itu. Dengan demikian suami istri yang telah cerai itu di mata Gereja masih terikat perkawinan dan tak dapat menikah lagi dengan sah. Andaikata itu terjadi, maka di mata Gereja terjadi poligami suksesif.
a. Monogami
Monogami berarti perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Jadi, merupakan lawan dari poligami atau poliandri. Sebenarnya UU Perkawinan RI No. 1 tahun 1974 juga menganut asas monogami, tetapi asas ini tidak dipegang teguh karena membuka pintu untuk poligami, tetapi tidak untuk poliandri.
b. Sifat tak-terputuskannya Ikatan Perkawinan
Ikatan perkawinan berlaku seumur hidup karena perkawinan berarti penyerahan diri secara total tanpa syarat, juga tanpa pembatasan waktu di dunia fana ini.
c. Implikasi
Memang kesesatan saja tentang sifat-sifat hakiki perkawinan tidak otomatis membuat perkawinan menjadi tidak sah, tetapi sifat-sifat hakiki ini juga menjadi obyek konsensus perkawinan (Kan. 1099).
Barangsiapa menjanjikan kesetiaan tetapi tidak menghendaki perkawinan seumur hidup melakukan simulasi parsial yang membuat perkawinan itu menjadi tidak sah. Barangsiapa bercerai, tidak memenuhi janjinya untuk menikah seumur hidup, dan bila ia menikah lagi, maka perkawinan itu tidak sah, karena masih terikat pada perkawinan sebelumnya.
Itulah salah satu kesulitan umat Katolik di Indonesia, di mana 60 % perkawinan setiap tahun diceraikan.
d. Dasar
ü Dalam Kitab Suci : misalnya Mrk 10:2-12; Mat 5: 31-32; 19:2-12; Luk 16:18
ü Ajaran Gereja : Konsili Trente (DS 1807); Konsili Vatikan II (GS 48), Familiaris Consortio 20; Katekismus Gereja Katolik 1644-1645
ü Penalaran akal sehat memang dapat mengajukan aneka argumen untuk mendukung sifat tak terputusnya perkawinan, misalnya martabat pribadi manusia yang patut dicintai tanpa reserve, kesejahteraan suami istri, terutama istri dan anak-anak, terutama yang masih kecil. Tetapi argumen-argumen ini tak dapat membuktikan secara mutlak, artinya tanpa kekecualian.
e. Tingkat kekukuhan
Perkawinan Katolik bersifat permanen dan tak terceraikan, baik secara intrinsik (oleh suami istri sendiri) maupun ekstrinsik (oleh pihak luar). Dalam hal perkawinan antara orang-orang yang telah dibaptis, perkawinan itu memperoleh kekukuhan atas dasar sakramen. Meski demikian, hukum masih mengakui adanya tingkat-tingkat kekukuhan dalam perkawinan sesuai macam perkawinan itu sendiri.
(1) Perkawinan putativum (putatif): perkawinan tak sah yang diteguhkan dengan itikad baik sekurang-kurangnya oleh satu pihak (Kan 1061, $ 1). Secara hukum perkawinan ini tidak mempunyai sifat kekukuhan dan ketakterceraian sama sekali.
(2) Perkawinan legitimum antara dua orang non-baptis. Perkawinan ini sah, tapi tak sakramental, yang sekaligus mempunyai sifat kekukuhan, namun bisa diceraikan dengan Previlegium Paulinum *karena suatu alasan yang berat.
(3) Perkawinan legitimum antar seorang baptis dan seorang non-baptis. Perkawinan ini pun sah, tapi tak sakramental karena salah satu pasangan belum atau tidak dibaptis. Perkawinan inipun dapat dibubarkan karena suatu alasan yang berat dengan Previlegium Petrinum (Previlegi Iman)**, walaupun telah memperoleh ciri kekukuhan dalam dirinya.
(4) Perkawinan ratum (et non consumatum): perkawinan sah dan sakramental, tapi belum disempurnakan dengan persetubuhan (Kan 1061, $1). Tingkat kekukuhan perkawinan ini sudah masuk kategori khusus atas dasar sakramen, namun karena suatu alasan yang sangat berat, masih dapat diputus oleh Paus.
(5) Perkawinan ratum et consumatum: perkawinan sah, sakramental, dan telah disempurnakan dengan persetubuhan. Perkawinan ini pun mempunyai kekukuhan khusus atas dasar sakramen, tapi lebih dari itu bersifat sama sekali tak terceraikan, krn sudah disempurnakan dengan persetubuhan.
5. KONSENSUS PERKAWINAN (Kan 1057)
Konsensus atau kesepakatan perkawinan adalah perbuatan kemauan dengan mana suami istri saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali. Itu berarti hanya konsensus yang “menciptakan” atau membuat suatu perkawinan menjadi ada (matrimonium in fieri, terjadinya perkawinan pada saat mempelai menyatakan konsensus)
Pada saat mempelai saling memberikan konsensus dalam perjanjian perkawinan, saat itu dimulai hidup perkawinan atau hidup berkeluarga yang akan berlaku dan berlangsung sepanjang hidup (matrimonium in facto esse, hidup berkeluarga).
Para pihak harus cakap hukum atau mempu menurut hukum untuk membuat konsensus perkawinan (Kan 1057 $ 1), artinya mereka tidak terkena suatu cacat psikologis apapun yang dapat meniadakan konsensus perkawinan (Kan 1095).
Konsensus harus dinyatakan secara legitim, artinya harus dinyatakan oleh kedua pihak satu terhadap yang lain, menurut norma hukum yang berlaku, misalnya dengan keharusan mentaati forma canonica atau suatu bentuk tata peneguhan publik lainnya yang diakui.
Konsensus tak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun; artinya tak ada kuasa apapun atau siapapun yang dapat dengan sewenang-wenang dan melawan hukum membuat konsensus bagi orang lain.
6. WEWENANG GEREJA ATAS PERKAWINAN ORANG-ORANG KATOLIK
Kanon 11 menyatakan bahwa orang yang dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalammya terikat oleh undang-undang yang bersifat semata-mata gerejawi. Itu berarti mereka yang bukan Katolik, entah dibaptis atau tidak, tidak terikat oleh undang-undang tersebut.
Namun, dalam hal perkawinan, ada semacam perkecualian. Kanon 1059 mengatakan: “Perkawinan orang-orang Katolik, meskipun hanya satu pihak yang Katolik, diatur tidak hanya hukum ilahi, melainkan juga oleh hukum kanonik, dengan tetap berlaku kuasa sipil mengenai akibat-akibat yang sifatnya semata-mata sipil dari perkawinan itu.”
Dengan demikian jelas bahwa dalam hal perkawinan campur, pihak non-Katolik secara tak langsung terikat oleh undang undang gerejawi (karena harus mengikuti pasangannya yang Katolik dan yang secara langsung terikat oleh undang-undang gerejawi).
Akibat-akibat perkawinan yang semata-mata sifatnya sipil berada di luar kewenangan Gereja. Misalnya, Gereja tidak bisa mengatur bagaimana harus mengurus harta warisan, harta bawaan, harta bersama, kewarganegaraan, perubahan nama istri dengan mengikuti nama suami, dsb.
7. SYARAT-SYARAT UNTUK SAHNYA PERKAWINAN KATOLIK
7.1. Bebas dari Halangan-halangan Kanonik
Ada sekitar 12 halangan kanonik yang dibicarakan secara spesifik dalam KHK 1983, yakni:
(1) Belum Mencapai Umur Kanonik (Kan. 1083)
Kanon 1083 $ 1 menetapkan bahwa pria sebelum berumur genap 16 tahun, dan wanita sebelum berumur genap 14 tahun, tidak dapat menikah dengan sah. Ketentuan batas minimal ini perlu dimengerti bersama dengan ketentuan mengenai kematangan intelektual dan psikoseksual (Kan 1095). UU Perkawinan RI menetapkan usia minimal 19 tahun untk pria dan 17 tahun untuk wanita.
(2) Impotensi (Kan. 1084)
Ketidakmampuan untuk melakukan hubungan seksual suami-istri disebut impotensi. Impotensi bisa mengenai pria atau wanita. Menurut Kan. 1084 $ 1 impotensi merupakan halangan yang menyebabkan perkawinan tidak sah dari kodratnya sendiri, yakni jika impotensi itu ada sejak pra-nikah dan bersifat tetap, entah bersifat mutlak ataupun relatif. Halangan impotensi merupakan halangan yang bersumber dari hukum ilahi kodrati, sehingga tidak pernah bisa didespansasi.
(3) Ligamen / Ikatan Perkawinan Terdahulu (Kan. 1085)
Menurut kodratnya perkawinan adalah penyerahan diri timbal balik, utuh dan lestari antara seorang pria dan seorang wanita. Kesatuan (unitas) dan sifat monogam perkawinan ini adalah salah satu sifat hakiki perkawinan, yang berlawanan dengan perkawinan poligami atau poliandri, baik simultan maupun suksesif. Sifat monogam perkawinan adalah tuntutan yang bersumber dari hukum ilahi kodrat, yang tak bisa didispensasi. Kan 1085 $ 1 memberikan prinsip hukum kodrat demi sahnya perkawinan: “Adalah tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang terikat perkawinan sebelumnya, meskipun perkawinan itu belum disempurnakan dengan persetubuhan.”
(4) Perkawinan Beda Agama / disparitas cultus (Kan. 1086)
Di dalam perkawinan, suami-istri bersama-sama berupaya untuk mewujudkan persekutuan hidup dan cintakasih dalam semua aspek dan dimensinya: personal-manusiawi dan spiritual-religius sekaligus. Agar persekutuan semacam itu bisa dicapai dengan lebih mudah, Gereja menghendaki agar umatnya memilih pasangan yang seiman, mengingat bahwa iman berpengaruh sangat kuat terhadap kesatuan lahir-batin suami-istri, pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga.
Mengingat relevansi iman terhadap perkawinan sakramental dan pengaruh perkawinan sakramental bagi kehidupan iman itulah Gereja Katolik menginginkan agar anggotanya tidak melakukan perkawinan campur, dalam arti menikah dengan orang non-Katolik, entah dibaptis non-Katolik (mixta religio) maupun tidak baptis (disparitas cultus). Di samping itu, ada sebuah norma moral dasar yang perlu diindahkan, yakni bahwa setiap orang dilarang melakukan sesuatu yang membahayakan imannya. Iman adalah suatu nilai yang amat tinggi, yang perlu dilindungi dengan cinta dan bakti.
(5) Tahbisan Suci (Kan. 1087)
Melalui tahbisan suci beberapa orang beriman memperoleh status kanonik yang khusus, yakni status klerikal, yang menjadikan mereka pelayan-pelayan rohani dalam gereja. Kan 1087 menetapkan: “Adalah tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci”.
(6) Kaul Kemurnian Publik dan Kekal (Kan. 1088)
Seperti tahbisan suci, demikian pula hidup religius tidak bisa dihayati bersama-sama dengan hidup perkawinan, karena seorang religius terikat kaul kemurnian (bdk. Kan. 573 $ 2; 598 $ 1)
(7) Penculikan (Kan. 1089)
Halangan penculikan atau penahanan ditetapkan untuk menjamin kebebasan pihak wanita, yang memiliki hak untuk menikah tanpa paksaan apapun. Kemauan bebas adalah syarat mutlak demi keabsahan kesepakatan nikah.
(8) Pembunuhan teman perkawinan (Kan. 1090)
Ini disebut halangan kriminal conjungicide.
(9) Konsanguinitas / Hubungan Darah (Kan. 1091)
Gereja menetapkan halangan hubungan darah untuk melindungi atau memperjuangkan nilai moral yang sangat mendasar. Pertama-tama ialah untuk menghindarkan perkawinan incest. Hubungan ini dilarang. Hubungan ini juga berakibat buruk terhadap kesehatan fisik, psikologis, mental dan intelektual bagi anak-anak yang dilahirkan.
Kan 1091 $ 1 menegaskan: “Tidak sahlah perkawinan antara orang-orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik legitim maupun alami”. Kan. 1091 $ 2 menegaskan bahwa dalam garis keturunan menyamping perkawinan tidak sah sampai dengan tingkat ke-4 inklusif.
(10) Hubungan Semenda / affinitas (Kan. 1092)
Hubungan semenda tercipta ketika dua keluarga saling mendekatkan batas-batas hubungan kekeluargaan lewat perkawinan yang terjadi antar anggota dari dua keluarga itu. Jadi, hubungan semenda muncul sebagai akibat dari suatu faktor ekstern (= ikatan perkawinan), bukan faktor intern (= ikatan darah).
Kan. 1092 menetapkan: “Hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat manapun”. Secara konkret, terhalang untuk saling menikah: a). antara menantu dan mertua [garis lurus ke atas tingkat 1], b). antara ibu dan anak tiri laki-laki, demikian juga sebaliknya antara bapak dan anak tiri perempuan.
(11) Kelayakan Publik (Kan. 1093)
Kelayakan publik muncul dari perkawinan yang tidak sah, termasuk hubungan kumpul kebo (konkubinat) yang diketahui umum. Menurut Kan. 1093 halangan nikah yang timbul dari kelayakan publik dibatasi pada garis lurus tingkat pertama antara pria dengan orang yang berhubungan darah dengan pihak wanita. Begitu juga sebaliknya.
(12) Hubungan Adopsi (Kan. 1094)
Anak yang diadopsi lewat adopsi legal memiliki status yuridis yang analog dengan status yuridis anak kandung. Kanon 1094 menyatakan: “Tidak dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum yang timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat kedua.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar