Pribadi kita sebagai manusia
yang berharga, kita diciptakan Allah sebagai citra-Nya. Sepantasnyalah kita
setiap manusia saling menghormati dan menghargai, walaupun ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. Dalam perbedaan itu manusia diajak untuk menyadari
bahwa setiap pribadi mempunyai keutuhan, tidak hanya secara fisik, tetapi juga
rohani. Setiap manusia mempunyai pikiran, perasaan, kehendak, dan tindakan,
segalanya tak hanya bersifat fisik dan mekanis, tetapi didasari olah jiwa yang
membuat manusia berperasaan dan berkehendak, keluhuran martabat inilah yang
seharusnya menyadarkan kita untuk selalu mengembangkan dan mempersembahkan
segala yang telah dikaruniakan Allah kepada kita dengan sebaik mungkin.
A.
Semua Manusia Secitra
Pribadi manusia merupajan pribadi yang secitra
dengan Allah. Allah menganugerahkan berkat pada setiap pribadi tanpa
terkecuali, walaupun dengan keterbatasan masing-masing. Semua manusia adalah
satu saudara dan luhur adanya.
1.
Semua Manusia Sesama dan
Saudara dalam Allah.
Kita semua adalah pribadi manusia
yang diciptakan Allah. Setiap dari kita adalah pribadi yang paling luhur,
menjadi berkat bagi sesame. Dalam Kitab Nabi Yeremia dikatakan, “Sebelum Aku
membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum
engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah
menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa” (Yer 1:5). Dengan demikian
dapat dikatakan lewat kutipan teks tersebut mau mengatakan betapa Allah telah
memberikan karunia keluhuran bagi setiap pribadi. Anugerah yang diberikan sebelum
kita di lahirkan di dunia. Anugerah, bahwa kita semua berarti dan dipilih oleh
Allah dalam situasi apapun, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang kita
miliki.
Dalam kekurangan dan
kelebihan itu baik secara fisik, tetaplah merupakan pribadi yang bermartabat.
Martabat itu tentu bukan diukur dari segi badan dan lahiriah, tetapi dari
siapakan diri kita sebenarnya, yaitu pribadi yang telah diciptakan Allah sesuai
dengan citra-Nya (seturut gambar dan rupa-Nya). Citra Allah menunjukkan bahwa
kita sebagai makhluk ciptaan yang paling mulia, kita menyerupai Allah (bdk. Mzm 8:5). Citra itu pancaran.
Manusia mencerminkan atau merupakan pancaran dari Allah. Artinya, bahwa di
dalam martabat setiap pribadi manusia, dapat dilihat gambaran dan pantulan rupa
Allah. Semua pribadi manusia tercipta baik adanya, dengan segala kelebihan dan
kekurangan yang dimiliki, manusia tetap manusia yang bermartabat. Dalam diri
setiap pribadi, kita percaya ada pancaran kebaikan-kebaikan Allah.
Dan karena kita semua adalah
citra Allah, maka kita harus menghargai sesame manusia dengan segala kelebihan
dan kekurangan baik secara fisik-lahiriahnya dan sifat-sifatnya, kita
berkewajiban menjada dan mengembangkan martabat. Mengembangkan
kebaikan-kebaikan dan segala sesuatu yang kita lakukan supaya bermanfaat bagi
sesame kita, apapun bentuknya. Karena semua manusia sesame dan saudara dalam
Allah.
2.
Sikap dan Tindakan Manghargai
Sesama
Manusia adalah citra Allah,
dalam konteks hidup sekarang, kita banyak melihat berbagai peristiwa hidup yang
terkadang berjalan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Lewat media
massa kita banyak melihat peristiwa-peristiwa kekerasan yang sangat memprihatinkan,
manusia tidak dihargai martabatnya. Konflik kepentingan yang terkadang tidak
lepas dari isu SARA muncul begitu banyak di wilayah Indonesia, mulai dari Ambon
sampai Papua. Tidak ketinggalah tindakan terorisme, yang merenggut nyawa tidak
sedikit. Martabat manusia seakan menjadi sebuah barang mainan yang dapat
dipermainkan seenaknya.
Ada beberapa sebab yang
dapat memunculkan konflik. Salah satu sebab munculnya konflik adalah perbedaan,
perbedaan yang dibawa setiap individu dalam suatu interaksi bersama orang lain.
Sebab lain adalah perasaan terancam, orang atau golongan yang merasa teracam
akan cenderung bersikap fanatik, misalnya munculnya isu Kristenisasi atau
Islamisasi dapat membuat kedua kelompok bersikap fanatik.
Banyak cara telah dilakukan
demi perdamaian. Dialog menjadi tema utama dalam setiap penyelesaian konflik.
Yang diharapkan bahwa dialog bukan semata-mata pertemuan dua kelompok atau
lebih, melainkan tindakan nyata dan konkret demi terciptanya perdamaian. Jika
cara berfikir kita hanya sebatas, bahwa orang lain adalah “obyek”, maka orang
lain dipandang selalu sebagai “yang lain”. Jika demikian, maka yang terjadi
adalah bahwa kita selalu menolak keberadaan pribadi orang lain sebagai
seseorang yang berharga dan sederajat dengan kita. Sehingga kita melihat orang
lain lebih rendah, tidak bermarabat, tidak bermoral dan sebagainya. Dampak dari
sikap ini adalah kekerasan, pembunuhan, bahkan penghancuran kelompok tertentu.
Kekerasan yang terjadi ini sebenarnya dilatarbelakangi atas proses berfikir
yang sempit, yaitu bagaimana manusia memandang sesame sebagai hubungan subyek
dan obyek.
Melalui konflik, seharusnya kita disadarkan betapa
pentingnya kita saling mengoreksi diri, betapa masih banyak kekurangan yang ada
dalam diri kita berhubungan dengan orang lain. Keterbukaan hati untuk saling
memahami, menjadi titik awal bagaimana sebuah kedewasaan dibangun. Membangun
sikap positif dalam berkomunikasi dengan orang lain, menghormati dan menghargai
orang lain secara tulus memungkinkan kesalahpahaman dan konflik dapat
dihindari. Bersikap dan berfikir positif terhadap orang lain mempunyai
unsur-unsur, diantaranya kesediaan mendengarkan, menghargai pendapat, dan
melibatkan diri (berempati). Dengan ini orang akan memiliki harga diri sehingga
akan membantu menciptakan komunikasi yang bermakna dan mendalam. Sikap ini
perlu diperkuat dengan cara pandang kita untuk menjauhkan diri dari sikap yang
berlebihan. Menghargai kemajemukan dengan berfikir dan bersikap terbuka atau
inklusif.
Dalam Kitab Suci digambarkan dengan jelas bagaimana manusia
yang diciptakan secitra dan segambar dengan Allah itu diharapkan mampu
memancarkan kasih Allah kepada sesama.
a.
Kesetaraan martabat, setiap
manusia memiliki kesataraan martabat dan hak asasi dihadapan Allah. Manusia
diciptakan sebagai “Citra Allah” (Kej 1:27), atau “Gambaran Allah yang tak
kelihatan (Kol 1:15), yang dipanggil untuk menjadi “Anak Allah” (Yoh 3:1-2)
b.
Pluralisme atau kemajemukan adalah suatu
kenyataan. Perbedaan yang ada sebagai salah satu jalan untuk menyempurnakan
satu sama lain. Seperti halnya tubuh, banyak anggota tetapi satu tubuh.
Beberapa talenta, kurnia dan panggilan, tetapi satu rekan sekerja Allah (1Kor
1:10 ; Rom 12)
c.
Ada perbedaan, dapat membantu
orang untuk mawar diri, sehingga tidak mudah untuk menghakimi atau mengadili
orang lain. Serahkan penghakiman itu pada Allah. Hendaknya kita suka mengampuni
orang lain, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kita (Mat
7:1-5; Luk 6:37-42; Ef 4:32)
d.
Hukum cinta kasih, adalah
dasar utama mengapa kita harus toleran kepada sesama. Cinta berarti menerima
orang lain apa adanya sesuai dengan identitasnya yang berbeda atau justru
karena identitasnya yang berbeda. Yesus mengajarkan kita untuk saling mencintai
tanpa syarat. (Luk 10:25-37).
Dengan demikian menjadi jelas,
orang diharapkan mampu memancarkan kasih Allah kepada sesame, dengan sikap dan
tindakan itu manusia menunjukkan tugasnya yang utama sebagai citra Allah.
3.
Upaya Menjaga Keluhuranku
Sebagai Manusia.
Hidup kita sebagai manusia merupakan
anugerah yang luar biasa yang patut untuk diperjuangkan. Kehidupan demikian
besar artinya “Hidup ditandai ciri yang tak terhapuskan, yaitu kebenarannya
sendiri, dengan menerima karunia Allah, manusia wajib mempertahankan hidup
dalam kebenaran itu yang memang hakiki baginya (EV. Art 48). Perjuangan kita
untuk mempertahankan hidup betapa hakikinya kehidupan ini, menjadi tonggak yang
tak pernah ada habisnya.
Kalau kita melihat perjalanan sejarah, muncul begitu banyak persoalan yang
menghancurkan harkat dan martabat serta keluhuran manusia, di satu sisi. Banyak
orang yang berjuang untuk mengatasi ancaman tersebut. Ketidakadilan dan
penindasar harkat manusia terjadi, disitulah muncul perlawanan. Kita lihat
peristiwa di Amerika Latin, terjadi penindasan terhadap kaum miskin, oleh para
tuan tanah dan penguasa. Di mana peristiwa tersebut melahirkan pengorbanan Uskup Oscar Romero dan beberapa Jesuit
dan perempuan. Peristiwa ini melahirkan refleksi yang mendalam betapa
perjuangan mempertahankan keadilan menuai tantangan yang begitu besar, butuh
pengorbanan. Mahatma Gandhi, mengusahakan
sebuah gerakan “ahimsa”, betapa melalui kekerasan yang begitu besar, kelembutan
dan cinta damai menjadi bagian perjuangan yang harus diangkat. Bunda Teresa dari Kalkuta, memberikan
tangannya dalam mengabdikan diri kepada kehidupan, kepad mereka yang miskin dan
tersingkir, untuk mengangkat mereka supaya bermartabat seperti manusia yang
lainnya.
Kehidupan adalah milik Allah
sebagai sumber segala kehidupan. Allah senantiasa berbelas kasih kepada manusia
untuk mengangkat manusia ke dalam kemuliaan. Dan setiap orang menurut kodratnya
memiliki hak hidup, hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, aman, dan
damai, tempat tinggal yang nyaman. Hak untuk tumbuh dan berkembang secara
penuh, memperolah keadilan dan cinta, perlindungan dan segala sesuatu yang
membuat sesorang merasa terlindungi. Setiap orang memiliki kesetaraan martabat
dan hak asasi di hadapan Allah. Manusia diciptakan sebagai “citra Allah” (Kej
1:27).
B.
Aku Memiliki Roh, Jiwa, dan Raga, yang Berkemampuan Memiliki Pikiran,
Perasaan, Kehendak.
Pribadi manusia tidak hanya fisik, tetapi juga
jiwa dan roh. Kita mempunyai pikiran, perasaan, kehendak dan tindakan. Hal
inilah yang menjadikan manusia seseorang yang bermartabat.
1.
Struktur Dasar Manusia: Roh,
Jiwa, dan Raga
Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di
Roma mengatakan, raga atau tubuh sebagai persembahan yang hidup kepada Allah.
Keberadaan kita di dunia ini, untuk memperbaharui budi dan mengetahui serta
selalu mencari kehendak Allah dalam menemukan yang baik dan sempurna.
Bahwa kita manusia ini hanya sebatas raga atau
tubuh jasmaniah yang tanpa arti. Raga atau jasmaniah ini hanyalah seonggok
daging yang sama dengan makhluk lain. Tetapi kita perlu melihat ke dalam, bahwa
di dalam raga jasmaniah ini ada jiwa dan roh yang selalu membuat kita menjadi
lebih sempurna dan baik adanya.
Paus Yohanes Paulus II mengajak kita menghargai
raga atau tubuh jasmaniah ini dalam satu kesatuan yang mendalam, bahwa di dalam
tubuh ada kesucian yang harus senantiasa kita junjung, karena Allah telah
menciptakan kita dengan rencana yang indah, “…..tubuh sesungguhnya mampu
membuat kita melihat apa yang tidak kelihatan, yang spiritual dan yang ilahi.
Tubuh telah diciptakan untuk menyalurkan ke dalam dunia yang kelihatan ini,
misteri yang tersembunyi sejak awal dalam diri Allah…. Dan karena itu tubuh
menjadi tanda bagi misteri itu. Raga atau tubuh jasmaniah merupakan tanda pernyataan
diri Allah dan rencana-Nya bagi umat manusia”.
Di dalam raga atau tubuh jasmaniah kita ini, ada
jiwa dan roh yang perlu terus kita pelihara. Jiwa dan roh inilah yang
memungkinkan kita mempunyai perasaan, kehendak, dan pemikiran yang membedakan
kita dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. Jika kita lihat kisah Kejadian,
begitu indah dilukiskan bagaimana Allah menciptakan manusia. Allah telah
“membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan napas hidup ke dalam
hidungnya, demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej 2:7).
Embusah napas inilah yang memberikan kita kehidupan. Napas dari “Yang
Mahakuasa” yang memberikan hidup (Ayb 33:4); yang diembuskan-Nya ke dalam
lubang hidung dari tubuh Adam yang belum bernyawa. Napas inilah yang menjadikan
kita mempunyai “roh” sehingga membuat kita menjadi manusia yang berjiwa dan
hidup.
Sebagai pribadi, manusia mempunyai tiga unsure
penting yang tak bisa dilepaskan, yaitu roh, jiwa, dan raga. Manusia adalah
kesatuan ketiganya tidak bisa dipisahkan, hal ini memberikan makna kepada kita,
bahwa pribadi manusia sebagai suatu yang bersifat imani dan suci terhadap raga.
Dengan roh-jiwa ini, maka setiap pribadi manusia lebih bermartabat dan luhur.
Raga yang kita miliki adalah kudus adanya.
Walaupun raga ini mempunyai keterbaatasan-keterbatasan alami, seperti kecacatan
dan rasa sakit, yang pada akhirnya akan rentan, tatapi raga ini adalah Bait
Suci kita. Di dalamnya ada Roh Allah yang bekerja bagi pertumbuhan dan
perkembangan pribadi kita. Tentu bait Allah adalah kudus dan suci, demikian
tubuh kita haruslah kudus dan suci. Raga kita adalah tempat di mana Roh Allah
diam di dalam hati kita. Tubuh kita adalah milik Tuhan serta menjadi tempat
Tuhan bersemayam dan berkarya mengadirkan karya keselamatan-Nya.
Maka kita perlu memahami tubuh kita yang terdiri
dari raga, jiwa dan roh. Kita perlu memikirkan apa arti hidup dan bagaimana
kita memandangnya, kalau kita tidak memiliki arti hidup atau salah
memandangnya, orang juga tidak akan mengerti tubuhnya atau menyalahgunakan
tubuhnya sendiri. Tubuh kita bukan untuk direndahkan bergitu rupa atau
digunakan untuk sesuatu yang sia-sia dan tidak berarti. Kita perlu menyadari
bahwa kita memiliki roh, jiwa dan raga yang tak terpisahkan, sehingga dengan
demikian kita juga memiliki perasaan, pemikiran dan kehendak.
2.
Kemampuan dasar Manusia, Pikiran, Perasaan,
Kehendak, dan Tindakan.
Roh, jiwa, dan raga tak terpisahkan dan menjadi
satu kesatuan did ala tubuh kita. Kita bukanlah seperti robot, pribadi yang tak
bernyawa, tetapi mempunyai pikiran, perasaan, kehendak, dan tindakan. Karena
mempunyai pikiran, prasaan, kehendak,
dan tindakan inilah yang membuat manusia “lebih” dibandingkan dengan segala
makhluk yang ada di bumi. Banyak gambaran yang muncul mengenai manusia. Manusia sering disebut sebagai homo ssapiens, yang berarti manusia yang
arif, karena memiliki akal budi dan mengungguli makhluk yang lain. Manusia
sering juga disebur sebagai homo faber, karena
mampu menggunakan berbagai alat yang ada dan menciptakannya. Sering juga
manusia disebut sebagai homo ludens, yaitu
makhluk yang suka bermain. Begitu juga dengan sebutan lain, homo symbollicum dan homo socio-economicus, karena manusia
mampu mencipta dan berkomunikasi dengan symbol-simbol, dan mengelola materi
hidupnya.
Manusia mempunyai pikiran dan kehendak. Kehendak
merupakan bentuk dorongan hati untuk melakukan sesuatu hal, baik itu
dipengaruhi oleh nilai-nilai positif kebajikan atau memang negatife. Di dalam
kehendak ada kemauan dan keinginan. Kemauan lebih merupakan dorongan untuk
melakukan sesuatu karena ada pengaruh dari luar diri. Kemauan mengindikasikan
adanya suatu tindakan yang akan dilakukan sebagai reaksi atas tawaran tertentu
dari luar dirinya. Sementara keinginan, dari kata dasar ‘ingin’, menunjukkan
adanya suatu kebutuhan terhadap sesuatu, bukan hanya kebutuhan melainkan juga
adanya dorongan untuk memuaskan diri. Kehendak manusia memiliki dua pemahamam.
Pertama, bahwa kehendak itu bersifat dorongan fitrah atau naluriah yang
bersifat sosial. Kedua, sering disebut sebagai keinginan. Biasanya
menggambarkan kehendak yang bersifat lebih egoistik.
Pemikiran dan kehendak inilah yang membawa kita
menjadi manusia yang juga berperasaan dan sekaligus mampu untuk bertindak.
Perasaan yang ada bukan hanya terbatas pada cinta, marah dan sedih, namun
banyak ungkapan perasaan. Perasaan menggambarkan ungkapan hati seseorang yang
kuat akan suatu hal, baik yang bersifat menyenangkan atau menggelisahkan.
Perasaan inilah yang membuat kita luhur, bermartabat, dan unik. Tentu semua itu
dilatarbelakangi oleh pemikiran hati yang ada di dalam diri kita. Setiap
perbuatan atau tindakan kita selalu dituntun oleh hati dan pikiran kita.
Pikiran yang memerintahkan sesuatu di dalam diri kita untuk melakukan sesuatu.
Apa pun sisi perintahnya, hati dan pikiran selalu mempengaruhinya. Kualitas
tindakan kita sangat tergantung pada kualitas hati dan pikiran kita. Benar atau
salahnya ditentukan oleh penilaian pikiran. Baik atau tidaknya berada di bawah
wewenang hati. Dalam Ijil Matius dikatakan, “Mata adalah pelita tubuh, jika
matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu, jika matamu jahat, gelaplah seluruh
tubuhmu…”. Pikiran dan hati merupakan ‘mata’ bagi diri kita dalam melakukan
tindakan yang berikutnya, apakah itu baik atau buruk.
Dengan kesadaran, manusia dapat memahami semua
perilaku dan tindakannya. Hanya saja untuk selalu bertindak dan berperilaku
baik, manusia harus memiliki tidak saja kesadaran semata tetapi lebih dari itu
yaitu kesadaran moral. Atas kesadaran moral itulah manusia dapat
memilih itndakan yang baik dan buruk. Dengan kesadaran moral ini manusia akan
merasa wajib untuk berbuat baik tanpa paksaan dan tekanan dari manapun juga,
semua didasarkan atas keputusan hati nuraninya.
C.
Aku Mengembangkan Karunia Allah.
Setiap manusia mempunyai kemampuan, dan bakat
dalam ukurun dan lingkungan tertentu, dengan sifat, karekter, pemikiran, dan
perasaannya masing-masing. Kemampuan dan bakat seseorang haruslah dikembangkan
dan digunakan karena merupakan Tuhan yang luar biasa yang selalu harus dikembangkan.
1.
Belajar Mengembangkan Bakat,
Pengetahuan, Kerohanian dan Ketrampilan
Perlu disadari bahwa kita mempunyai kekuatan
(pengetahuan dan bakat), sifat, dan karakter pribadi yang unik, yang telah ada
dan berkembang di dalam diri kita. Segala kemampuan dan bakat tersebut,
hendaknya dikembangkan dan digunakan karena merupakan anugerah dari Allah yang
pantas kita syukuri. Allah menghendaki agar bakat, kemampuan, kekuatan atau
“talenta” yang kita punyai, terus dikembangkan dan digunakan. Dalam Injil;
Matius (Mat 25:14-30). Perumpamaan
ini menceritakan tentang seorang tuan yang mempercayakan uangnya kepada ketiga
hambanya. Hamba yang pertama dipercayakan lima talenta, yang kedua dipercayakan
dua, yang ketiga dipercayakan satu. (dalam kitab Lukas disebutkan sang tuan
membagikan sepuluh mina kepada sepuluh hambanya, masing-masing menerima satu
mina, namun pada akhirnya hanya tiga pula yang diceritakan). Setelah itu sang
tuan pergi. Diceritakan hamba yang pertama yang dipercayakan lima talenta
berhasil memperoleh laba lima talenta, sementara hamba yang kedua yang
dipercayakan dua talenta berhasil memperoleh laba dua talenta, namun hamba yang
ketiga yang dipercayakan satu talenta menyembunyikan uangnya sehingga tidak
mendapat laba apa-apa. (dalam kitab Lukas disebutkan hamba I memperoleh laba 10
mina, hamba II memperoleh laba 5 mina, sedangkan hamba III juga menyimpan
uangnya.) Setelah sang tuan kembali dan bertemu dengan hamba pertamanya, maka
sang tuan memberinya tanggung jawab yang lebih besar (dalam kitab Lukas disebutkan
ia diberikan sepuluh kota), lalu hamba keduanya juga diberikan tanggung jawab
yang lebih besar (dalam kitab Lukas disebutkan ia diberikan lima kota), tetapi
hamba yang ketiga dihukum, dan uang yang dipercayakan kepadanya diberikan
kepada hamba yang pertama.
Perumpamaan
Tentang Talenta
|
Menerima kehendak Tuhan
berarti menerima bimbingannya, karena Dia akan mengantar kita setapak demi
setapak melalui keadaan konkrit diri kita dan lingkungan kita menuju ke
keselamatan. itu semua akan terjadi sejauh kita menerima dan melaksanakan
kehendak-Nya. Itu semua
akan terjadi sejauh kita mampu mengembangkannya. Selain bakan dan ketrampilan,
kita juga memiliki pengetahuan dan kerohanian, yang senantiasa harus
dikembangkan pula. Seperti yang telah dikatakan St. Paulus bahwa kita harus
terus mengusahakan pembaharuan akal budi kita, agar akal budi kita lelalu
diresapi oleh nilai-nilai kebaikan. “Janganlah kami menjadi serupa dengan dunia
ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan
manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang
sempurna” (Rm 12:2).
2.
Bersyukur dan Mempersembahkan
Hidup berdasarkan Karunia Allah.
Menjadi yang terbaik merupakan keinginan dan
harapan banyak orang, tetapi tidak semua orang akhirnya mampu meraihnya. Kadang
kita berfikir, menjadi terbaik itu bukan milik semua orang. Tetapi, kita
harusnya menyadari bahwa kita semua diberkati dan diberi karunia yang luar
biasa dari Allah. Dalam Suratnya kepada jemaat di Roma Santo Paulus
mengajarkan, yang penting bukan menjadi yang terbaik, tetapi mempersembahkan
yang terbaik dari diri kita (Rom 12:1-8). Allah mengaruniakan talenta, yang
berbeda-beda kepada setiap orang, dan kita perlu mengenalinya, mempergunakan
dan memperkembangkannya untuk melakukan yang terbaik dalam melayani Allah dan
sesame, agar mampu menjadi berkat. Malakukan yang terbaik sesuai dengan talenta
atau kemampuan kita merupakan wujud dari rasa syukur atas karunia yang sudah
kita terima dari Allah, secara terus menerus.
Kita bersyukur dan mempersembahkan karunia yang
kita punyai sesuai dengan panggilan hidup kita. Paus Benediktus XVI,
menyadarkan kita, bahwa panggilan hidup adalah inisiatif Allah, prakarsa Allah,
anugerah Allah. Manusia menjawab panggilan Allah, bekerka sama dengan rahmat
dalam sikap I,am, percaya, pasrah diri, dan dengan penuh harapan mengusahakan
pembaruan secara terus-menerus. Semua dari kita dipanggil untuk menjadi Anak
Allah. Menjadi Anak Allah sesungguhnya merupakan kasih karunia Allah, bukan
hanya karena diciptakan oleh Allah, melaikan karena dicintai dan diberi hidup
oleh Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar