A. Semua Manusia Secitra
Pribadi
manusia merupajan pribadi yang secitra dengan Allah. Allah
menganugerahkan berkat pada setiap pribadi tanpa terkecuali, walaupun
dengan keterbatasan masing-masing. Semua manusia adalah satu saudara dan
luhur adanya.
1. Semua Manusia Sesama dan Saudara dalam Allah.
Kita
semua adalah pribadi manusia yang diciptakan Allah. Setiap dari kita
adalah pribadi yang paling luhur, menjadi berkat bagi sesame. Dalam
Kitab Nabi Yeremia dikatakan, “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim
ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari
kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau
menjadi nabi bagi bangsa-bangsa” (Yer 1:5). Dengan demikian dapat
dikatakan lewat kutipan teks tersebut mau mengatakan betapa Allah telah
memberikan karunia keluhuran bagi setiap pribadi. Anugerah yang
diberikan sebelum kita di lahirkan di dunia. Anugerah, bahwa kita semua
berarti dan dipilih oleh Allah dalam situasi apapun, dengan segala
kekurangan dan kelebihan yang kita miliki.
Dalam
kekurangan dan kelebihan itu baik secara fisik, tetaplah merupakan
pribadi yang bermartabat. Martabat itu tentu bukan diukur dari segi
badan dan lahiriah, tetapi dari siapakan diri kita sebenarnya, yaitu
pribadi yang telah diciptakan Allah sesuai dengan citra-Nya (seturut
gambar dan rupa-Nya). Citra Allah menunjukkan bahwa kita sebagai makhluk
ciptaan yang paling mulia, kita menyerupai Allah (bdk.
Mzm 8:5). Citra itu pancaran. Manusia mencerminkan atau merupakan
pancaran dari Allah. Artinya, bahwa di dalam martabat setiap pribadi
manusia, dapat dilihat gambaran dan pantulan rupa Allah. Semua pribadi
manusia tercipta baik adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangan
yang dimiliki, manusia tetap manusia yang bermartabat. Dalam diri setiap
pribadi, kita percaya ada pancaran kebaikan-kebaikan Allah.
Dan
karena kita semua adalah citra Allah, maka kita harus menghargai sesame
manusia dengan segala kelebihan dan kekurangan baik secara
fisik-lahiriahnya dan sifat-sifatnya, kita berkewajiban menjada dan
mengembangkan martabat. Mengembangkan kebaikan-kebaikan dan segala
sesuatu yang kita lakukan supaya bermanfaat bagi sesame kita, apapun
bentuknya. Karena semua manusia sesame dan saudara dalam Allah.
2. Sikap dan Tindakan Manghargai Sesama
Manusia
adalah citra Allah, dalam konteks hidup sekarang, kita banyak melihat
berbagai peristiwa hidup yang terkadang berjalan tidak sesuai dengan apa
yang kita harapkan. Lewat media massa kita banyak melihat
peristiwa-peristiwa kekerasan yang sangat memprihatinkan, manusia tidak
dihargai martabatnya. Konflik kepentingan yang terkadang tidak lepas
dari isu SARA muncul begitu banyak di wilayah Indonesia, mulai dari
Ambon sampai Papua. Tidak ketinggalah tindakan terorisme, yang merenggut
nyawa tidak sedikit. Martabat manusia seakan menjadi sebuah barang
mainan yang dapat dipermainkan seenaknya.
Ada
beberapa sebab yang dapat memunculkan konflik. Salah satu sebab
munculnya konflik adalah perbedaan, perbedaan yang dibawa setiap
individu dalam suatu interaksi bersama orang lain. Sebab lain adalah
perasaan terancam, orang atau golongan yang merasa teracam akan
cenderung bersikap fanatik, misalnya munculnya isu Kristenisasi atau
Islamisasi dapat membuat kedua kelompok bersikap fanatik.
Banyak
cara telah dilakukan demi perdamaian. Dialog menjadi tema utama dalam
setiap penyelesaian konflik. Yang diharapkan bahwa dialog bukan
semata-mata pertemuan dua kelompok atau lebih, melainkan tindakan nyata
dan konkret demi terciptanya perdamaian. Jika cara berfikir kita hanya
sebatas, bahwa orang lain adalah “obyek”, maka orang lain dipandang
selalu sebagai “yang lain”. Jika demikian, maka yang terjadi adalah
bahwa kita selalu menolak keberadaan pribadi orang lain sebagai
seseorang yang berharga dan sederajat dengan kita. Sehingga kita melihat
orang lain lebih rendah, tidak bermarabat, tidak bermoral dan
sebagainya. Dampak dari sikap ini adalah kekerasan, pembunuhan, bahkan
penghancuran kelompok tertentu. Kekerasan yang terjadi ini sebenarnya
dilatarbelakangi atas proses berfikir yang sempit, yaitu bagaimana
manusia memandang sesame sebagai hubungan subyek dan obyek.
Melalui
konflik, seharusnya kita disadarkan betapa pentingnya kita saling
mengoreksi diri, betapa masih banyak kekurangan yang ada dalam diri kita
berhubungan dengan orang lain. Keterbukaan hati untuk saling memahami,
menjadi titik awal bagaimana sebuah kedewasaan dibangun. Membangun sikap
positif dalam berkomunikasi dengan orang lain, menghormati dan
menghargai orang lain secara tulus memungkinkan kesalahpahaman dan
konflik dapat dihindari. Bersikap dan berfikir positif terhadap orang
lain mempunyai unsur-unsur, diantaranya kesediaan mendengarkan,
menghargai pendapat, dan melibatkan diri (berempati). Dengan ini orang
akan memiliki harga diri sehingga akan membantu menciptakan komunikasi
yang bermakna dan mendalam. Sikap ini perlu diperkuat dengan cara
pandang kita untuk menjauhkan diri dari sikap yang berlebihan.
Menghargai kemajemukan dengan berfikir dan bersikap terbuka atau
inklusif.
Dalam
Kitab Suci digambarkan dengan jelas bagaimana manusia yang diciptakan
secitra dan segambar dengan Allah itu diharapkan mampu memancarkan kasih
Allah kepada sesama.
a. Kesetaraan
martabat, setiap manusia memiliki kesataraan martabat dan hak asasi
dihadapan Allah. Manusia diciptakan sebagai “Citra Allah” (Kej 1:27),
atau “Gambaran Allah yang tak kelihatan (Kol 1:15), yang dipanggil untuk
menjadi “Anak Allah” (Yoh 3:1-2)
b. Pluralisme
atau kemajemukan adalah suatu kenyataan. Perbedaan yang ada sebagai
salah satu jalan untuk menyempurnakan satu sama lain. Seperti halnya
tubuh, banyak anggota tetapi satu tubuh. Beberapa talenta, kurnia dan
panggilan, tetapi satu rekan sekerja Allah (1Kor 1:10 ; Rom 12)
c. Ada
perbedaan, dapat membantu orang untuk mawar diri, sehingga tidak mudah
untuk menghakimi atau mengadili orang lain. Serahkan penghakiman itu
pada Allah. Hendaknya kita suka mengampuni orang lain, sebagaimana Allah
di dalam Kristus telah mengampuni kita (Mat 7:1-5; Luk 6:37-42; Ef
4:32)
d. Hukum
cinta kasih, adalah dasar utama mengapa kita harus toleran kepada
sesama. Cinta berarti menerima orang lain apa adanya sesuai dengan
identitasnya yang berbeda atau justru karena identitasnya yang berbeda.
Yesus mengajarkan kita untuk saling mencintai tanpa syarat. (Luk
10:25-37).
Dengan
demikian menjadi jelas, orang diharapkan mampu memancarkan kasih Allah
kepada sesame, dengan sikap dan tindakan itu manusia menunjukkan
tugasnya yang utama sebagai citra Allah.
3. Upaya Menjaga Keluhuranku Sebagai Manusia.
Hidup
kita sebagai manusia merupakan anugerah yang luar biasa yang patut
untuk diperjuangkan. Kehidupan demikian besar artinya “Hidup ditandai
ciri yang tak terhapuskan, yaitu kebenarannya sendiri, dengan menerima
karunia Allah, manusia wajib mempertahankan hidup dalam kebenaran itu
yang memang hakiki baginya (EV. Art 48). Perjuangan kita untuk
mempertahankan hidup betapa hakikinya kehidupan ini, menjadi tonggak
yang tak pernah ada habisnya.
Kalau
kita melihat perjalanan sejarah, muncul begitu banyak persoalan yang
menghancurkan harkat dan martabat serta keluhuran manusia, di satu sisi.
Banyak orang yang berjuang untuk mengatasi ancaman tersebut.
Ketidakadilan dan penindasar harkat manusia terjadi, disitulah muncul
perlawanan. Kita lihat peristiwa di Amerika Latin, terjadi penindasan
terhadap kaum miskin, oleh para tuan tanah dan penguasa. Di mana
peristiwa tersebut melahirkan pengorbanan Uskup Oscar Romero dan
beberapa Jesuit dan perempuan. Peristiwa ini melahirkan refleksi yang
mendalam betapa perjuangan mempertahankan keadilan menuai tantangan yang
begitu besar, butuh pengorbanan. Mahatma Gandhi, mengusahakan
sebuah gerakan “ahimsa”, betapa melalui kekerasan yang begitu besar,
kelembutan dan cinta damai menjadi bagian perjuangan yang harus
diangkat. Bunda Teresa dari Kalkuta, memberikan
tangannya dalam mengabdikan diri kepada kehidupan, kepad mereka yang
miskin dan tersingkir, untuk mengangkat mereka supaya bermartabat
seperti manusia yang lainnya.
Kehidupan
adalah milik Allah sebagai sumber segala kehidupan. Allah senantiasa
berbelas kasih kepada manusia untuk mengangkat manusia ke dalam
kemuliaan. Dan setiap orang menurut kodratnya memiliki hak hidup, hak
untuk mendapatkan kehidupan yang layak, aman, dan damai, tempat tinggal
yang nyaman. Hak untuk tumbuh dan berkembang secara penuh, memperolah
keadilan dan cinta, perlindungan dan segala sesuatu yang membuat
sesorang merasa terlindungi. Setiap orang memiliki kesetaraan martabat
dan hak asasi di hadapan Allah. Manusia diciptakan sebagai “citra Allah”
(Kej 1:27).
B. Aku Memiliki Roh, Jiwa, dan Raga, yang Berkemampuan Memiliki Pikiran, Perasaan, Kehendak.
Pribadi
manusia tidak hanya fisik, tetapi juga jiwa dan roh. Kita mempunyai
pikiran, perasaan, kehendak dan tindakan. Hal inilah yang menjadikan
manusia seseorang yang bermartabat.
1. Struktur Dasar Manusia: Roh, Jiwa, dan Raga
Santo
Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma mengatakan, raga atau tubuh
sebagai persembahan yang hidup kepada Allah. Keberadaan kita di dunia
ini, untuk memperbaharui budi dan mengetahui serta selalu mencari
kehendak Allah dalam menemukan yang baik dan sempurna.
Bahwa
kita manusia ini hanya sebatas raga atau tubuh jasmaniah yang tanpa
arti. Raga atau jasmaniah ini hanyalah seonggok daging yang sama dengan
makhluk lain. Tetapi kita perlu melihat ke dalam, bahwa di dalam raga
jasmaniah ini ada jiwa dan roh yang selalu membuat kita menjadi lebih
sempurna dan baik adanya.
Paus
Yohanes Paulus II mengajak kita menghargai raga atau tubuh jasmaniah
ini dalam satu kesatuan yang mendalam, bahwa di dalam tubuh ada kesucian
yang harus senantiasa kita junjung, karena Allah telah menciptakan kita
dengan rencana yang indah, “…..tubuh sesungguhnya mampu membuat kita
melihat apa yang tidak kelihatan, yang spiritual dan yang ilahi. Tubuh
telah diciptakan untuk menyalurkan ke dalam dunia yang kelihatan ini,
misteri yang tersembunyi sejak awal dalam diri Allah…. Dan karena itu
tubuh menjadi tanda bagi misteri itu. Raga atau tubuh jasmaniah
merupakan tanda pernyataan diri Allah dan rencana-Nya bagi umat
manusia”.
Di
dalam raga atau tubuh jasmaniah kita ini, ada jiwa dan roh yang perlu
terus kita pelihara. Jiwa dan roh inilah yang memungkinkan kita
mempunyai perasaan, kehendak, dan pemikiran yang membedakan kita dengan
makhluk ciptaan Allah yang lain. Jika kita lihat kisah Kejadian, begitu
indah dilukiskan bagaimana Allah menciptakan manusia. Allah telah
“membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan napas hidup ke
dalam hidungnya, demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup”
(Kej 2:7). Embusah napas inilah yang memberikan kita kehidupan. Napas
dari “Yang Mahakuasa” yang memberikan hidup (Ayb 33:4); yang
diembuskan-Nya ke dalam lubang hidung dari tubuh Adam yang belum
bernyawa. Napas inilah yang menjadikan kita mempunyai “roh” sehingga
membuat kita menjadi manusia yang berjiwa dan hidup.
Sebagai
pribadi, manusia mempunyai tiga unsure penting yang tak bisa
dilepaskan, yaitu roh, jiwa, dan raga. Manusia adalah kesatuan ketiganya
tidak bisa dipisahkan, hal ini memberikan makna kepada kita, bahwa
pribadi manusia sebagai suatu yang bersifat imani dan suci terhadap
raga. Dengan roh-jiwa ini, maka setiap pribadi manusia lebih bermartabat
dan luhur.
Raga
yang kita miliki adalah kudus adanya. Walaupun raga ini mempunyai
keterbaatasan-keterbatasan alami, seperti kecacatan dan rasa sakit, yang
pada akhirnya akan rentan, tatapi raga ini adalah Bait Suci kita. Di
dalamnya ada Roh Allah yang bekerja bagi pertumbuhan dan perkembangan
pribadi kita. Tentu bait Allah adalah kudus dan suci, demikian tubuh
kita haruslah kudus dan suci. Raga kita adalah tempat di mana Roh Allah
diam di dalam hati kita. Tubuh kita adalah milik Tuhan serta menjadi
tempat Tuhan bersemayam dan berkarya mengadirkan karya keselamatan-Nya.
Maka
kita perlu memahami tubuh kita yang terdiri dari raga, jiwa dan roh.
Kita perlu memikirkan apa arti hidup dan bagaimana kita memandangnya,
kalau kita tidak memiliki arti hidup atau salah memandangnya, orang juga
tidak akan mengerti tubuhnya atau menyalahgunakan tubuhnya sendiri.
Tubuh kita bukan untuk direndahkan bergitu rupa atau digunakan untuk
sesuatu yang sia-sia dan tidak berarti. Kita perlu menyadari bahwa kita
memiliki roh, jiwa dan raga yang tak terpisahkan, sehingga dengan
demikian kita juga memiliki perasaan, pemikiran dan kehendak.
2. Kemampuan dasar Manusia, Pikiran, Perasaan, Kehendak, dan Tindakan.
Roh,
jiwa, dan raga tak terpisahkan dan menjadi satu kesatuan did ala tubuh
kita. Kita bukanlah seperti robot, pribadi yang tak bernyawa, tetapi
mempunyai pikiran, perasaan, kehendak, dan tindakan. Karena mempunyai pikiran,
prasaan, kehendak, dan tindakan inilah yang membuat manusia “lebih”
dibandingkan dengan segala makhluk yang ada di bumi. Banyak gambaran
yang muncul mengenai manusia. Manusia sering disebut sebagai homo ssapiens, yang
berarti manusia yang arif, karena memiliki akal budi dan mengungguli
makhluk yang lain. Manusia sering juga disebur sebagai homo faber, karena mampu menggunakan berbagai alat yang ada dan menciptakannya. Sering juga manusia disebut sebagai homo ludens, yaitu makhluk yang suka bermain. Begitu juga dengan sebutan lain, homo symbollicum dan homo socio-economicus, karena manusia mampu mencipta dan berkomunikasi dengan symbol-simbol, dan mengelola materi hidupnya.
Manusia
mempunyai pikiran dan kehendak. Kehendak merupakan bentuk dorongan hati
untuk melakukan sesuatu hal, baik itu dipengaruhi oleh nilai-nilai
positif kebajikan atau memang negatife. Di dalam kehendak ada kemauan
dan keinginan. Kemauan lebih merupakan dorongan untuk melakukan sesuatu
karena ada pengaruh dari luar diri. Kemauan mengindikasikan adanya suatu
tindakan yang akan dilakukan sebagai reaksi atas tawaran tertentu dari
luar dirinya. Sementara keinginan, dari kata dasar ‘ingin’, menunjukkan
adanya suatu kebutuhan terhadap sesuatu, bukan hanya kebutuhan melainkan
juga adanya dorongan untuk memuaskan diri. Kehendak manusia memiliki
dua pemahamam. Pertama, bahwa kehendak itu bersifat dorongan fitrah atau
naluriah yang bersifat sosial. Kedua, sering disebut sebagai keinginan.
Biasanya menggambarkan kehendak yang bersifat lebih egoistik.
Pemikiran
dan kehendak inilah yang membawa kita menjadi manusia yang juga
berperasaan dan sekaligus mampu untuk bertindak. Perasaan yang ada bukan
hanya terbatas pada cinta, marah dan sedih, namun banyak ungkapan
perasaan. Perasaan menggambarkan ungkapan hati seseorang yang kuat akan
suatu hal, baik yang bersifat menyenangkan atau menggelisahkan. Perasaan
inilah yang membuat kita luhur, bermartabat, dan unik. Tentu semua itu
dilatarbelakangi oleh pemikiran hati yang ada di dalam diri kita. Setiap
perbuatan atau tindakan kita selalu dituntun oleh hati dan pikiran
kita. Pikiran yang memerintahkan sesuatu di dalam diri kita untuk
melakukan sesuatu. Apa pun sisi perintahnya, hati dan pikiran selalu
mempengaruhinya. Kualitas tindakan kita sangat tergantung pada kualitas
hati dan pikiran kita. Benar atau salahnya ditentukan oleh penilaian
pikiran. Baik atau tidaknya berada di bawah wewenang hati. Dalam Ijil
Matius dikatakan, “Mata adalah pelita tubuh, jika matamu baik, teranglah
seluruh tubuhmu, jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu…”. Pikiran
dan hati merupakan ‘mata’ bagi diri kita dalam melakukan tindakan yang
berikutnya, apakah itu baik atau buruk.
Dengan
kesadaran, manusia dapat memahami semua perilaku dan tindakannya. Hanya
saja untuk selalu bertindak dan berperilaku baik, manusia harus
memiliki tidak saja kesadaran semata tetapi lebih dari itu yaitu kesadaran moral. Atas
kesadaran moral itulah manusia dapat memilih itndakan yang baik dan
buruk. Dengan kesadaran moral ini manusia akan merasa wajib untuk
berbuat baik tanpa paksaan dan tekanan dari manapun juga, semua
didasarkan atas keputusan hati nuraninya.
C. Aku Mengembangkan Karunia Allah.
Setiap
manusia mempunyai kemampuan, dan bakat dalam ukurun dan lingkungan
tertentu, dengan sifat, karekter, pemikiran, dan perasaannya
masing-masing. Kemampuan dan bakat seseorang haruslah dikembangkan dan
digunakan karena merupakan Tuhan yang luar biasa yang selalu harus
dikembangkan.
1. Belajar Mengembangkan Bakat, Pengetahuan, Kerohanian dan Ketrampilan
Perlu
disadari bahwa kita mempunyai kekuatan (pengetahuan dan bakat), sifat,
dan karakter pribadi yang unik, yang telah ada dan berkembang di dalam
diri kita. Segala kemampuan dan bakat tersebut, hendaknya dikembangkan
dan digunakan karena merupakan anugerah dari Allah yang pantas kita
syukuri. Allah menghendaki agar bakat, kemampuan, kekuatan atau
“talenta” yang kita punyai, terus dikembangkan dan digunakan. Dalam
Injil; Matius (Mat 25:14-30). Perumpamaan
ini menceritakan tentang seorang tuan yang mempercayakan uangnya kepada
ketiga hambanya. Hamba yang pertama dipercayakan lima talenta, yang
kedua dipercayakan dua, yang ketiga dipercayakan satu. (dalam kitab
Lukas disebutkan sang tuan membagikan sepuluh mina kepada sepuluh
hambanya, masing-masing menerima satu mina, namun pada akhirnya hanya
tiga pula yang diceritakan). Setelah itu sang tuan pergi. Diceritakan
hamba yang pertama yang dipercayakan lima talenta berhasil memperoleh
laba lima talenta, sementara hamba yang kedua yang dipercayakan dua
talenta berhasil memperoleh laba dua talenta, namun hamba yang ketiga
yang dipercayakan satu talenta menyembunyikan uangnya sehingga tidak
mendapat laba apa-apa. (dalam kitab Lukas disebutkan hamba I memperoleh
laba 10 mina, hamba II memperoleh laba 5 mina, sedangkan hamba III juga
menyimpan uangnya.) Setelah sang tuan kembali dan bertemu dengan hamba
pertamanya, maka sang tuan memberinya tanggung jawab yang lebih besar
(dalam kitab Lukas disebutkan ia diberikan sepuluh kota), lalu hamba
keduanya juga diberikan tanggung jawab yang lebih besar (dalam kitab
Lukas disebutkan ia diberikan lima kota), tetapi hamba yang ketiga
dihukum, dan uang yang dipercayakan kepadanya diberikan kepada hamba
yang pertama.
Perumpamaan
itu menyadarkan kita agar selalu mengembangkan segala hal yang sudah
kita punyai dan kita dapatkan demi perkembangan diri kita sendiri dan
orang lain di sekitar kita. Kita hendaknya percaya, bahwa kita telah
diberkati dengan karunia yang berbeda-beda sesuai kemampuan kita
masing-masing. Karunia-karunia itu harus kita gunakan untuk melayani
Allah dan sesame kita. Sebab dengan menggunakan dan mengembangkan talenta sebagaimana mestinya adalah panggilan dan tuntutan kristiani. Menolak
kehendak Allah atas diri kita dapat menjadi penghalang bagi kemajuan
diri kita sendiri dan menjadi rintangan jalan kita menuju Allah. Kita
hendaknya menerima kehendak Allah yang nyata dalam diri kita. Kita
percaya bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk
mendatangkan kebaikan bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan
rencana-Nya (Lih Rom 8:28).
Menerima
kehendak Tuhan berarti menerima bimbingannya, karena Dia akan mengantar
kita setapak demi setapak melalui keadaan konkrit diri kita dan
lingkungan kita menuju ke keselamatan. itu semua akan terjadi sejauh
kita menerima dan melaksanakan kehendak-Nya.
Itu semua akan terjadi sejauh kita mampu mengembangkannya. Selain bakan
dan ketrampilan, kita juga memiliki pengetahuan dan kerohanian, yang
senantiasa harus dikembangkan pula. Seperti yang telah dikatakan St.
Paulus bahwa kita harus terus mengusahakan pembaharuan akal budi kita,
agar akal budi kita lelalu diresapi oleh nilai-nilai kebaikan.
“Janganlah kami menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh
pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak
Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rm
12:2).
2. Bersyukur dan Mempersembahkan Hidup berdasarkan Karunia Allah.
Menjadi
yang terbaik merupakan keinginan dan harapan banyak orang, tetapi tidak
semua orang akhirnya mampu meraihnya. Kadang kita berfikir, menjadi
terbaik itu bukan milik semua orang. Tetapi, kita harusnya menyadari
bahwa kita semua diberkati dan diberi karunia yang luar biasa dari
Allah. Dalam Suratnya kepada jemaat di Roma Santo Paulus mengajarkan,
yang penting bukan menjadi yang terbaik, tetapi mempersembahkan yang
terbaik dari diri kita (Rom 12:1-8). Allah mengaruniakan talenta, yang
berbeda-beda kepada setiap orang, dan kita perlu mengenalinya,
mempergunakan dan memperkembangkannya untuk melakukan yang terbaik dalam
melayani Allah dan sesame, agar mampu menjadi berkat. Malakukan yang
terbaik sesuai dengan talenta atau kemampuan kita merupakan wujud dari
rasa syukur atas karunia yang sudah kita terima dari Allah, secara terus
menerus.
Kita
bersyukur dan mempersembahkan karunia yang kita punyai sesuai dengan
panggilan hidup kita. Paus Benediktus XVI, menyadarkan kita, bahwa
panggilan hidup adalah inisiatif Allah, prakarsa Allah, anugerah Allah.
Manusia menjawab panggilan Allah, bekerka sama dengan rahmat dalam sikap
I,am, percaya, pasrah diri, dan dengan penuh harapan mengusahakan
pembaruan secara terus-menerus. Semua dari kita dipanggil untuk menjadi
Anak Allah. Menjadi Anak Allah sesungguhnya merupakan kasih karunia
Allah, bukan hanya karena diciptakan oleh Allah, melaikan karena
dicintai dan diberi hidup oleh Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar