Kamis, 20 September 2018

Sifat-sifat Gereja

SIFAT-SIFAT GEREJA

Ada ungkapan mengatakan, “tak kenal maka tak sayang”. Ternyata ungkapan ini juga berlaku untuk masalah pokok-pokok iman baik yang terdapat pada agamanya sendiri maupun yang terdapat di agama lain. Paparan berikut adalah sepotong kecil dari pokok iman yang dipegang oleh Gereja Katolik.
Syahadat iman Gereja Katolik dirumuskan dalam Kredo (credere = percaya). Ada dua rumusan kredo yaitu rumusan pendek dan rumusan panjang. Syahadat rumusan pendek disebut Syahadat Para Rasul karena menurut tradisi syahadat ini disusun oleh para rasul.Yang panjang disebut Syahadat Nikea yang disahkan dalam Konsili Nikea  (325) yang menekankan keilahian Yesus. Dikemudian hari lazim disebut sebagai Syadat Nikea-Konstantinopel karena berhubungan dengan Konsili Konstantinopel I (381). Pada Konsili ini ditekankan keilahian Roh Kudus yang harus disembah dan dimuliakan bersama Bapa dan Putera. Syahadat inilah yang lebih banyak digunakan dalam liturgi-liturgi Gereja Katolik. Di dalam rumusan syahadat panjang itu pada bagian akhir dinyatakan ke empat sifat atau ciri gereja katolik : satu, kudus, katolik dan apostolik.


A.    Gereja yang Satu
Gereja percaya akan kehendak Allah, sebagaimana tertulis dalam Kitabsuci, bahwa orang-orang beriman kepada Kristus hendaknya berhimpun menjadi Umat Allah (1Ptr 2:5-10) dan menjadi satu Tubuh (1Kor 12:12). Gereja Katolik percaya bahwa kesatuan itu menjadi begitu kokoh dan kuat karena secara historis bertolak dari penetapan Petrus sebagai penerima kunci Kerajaan Surga. Setelah Petrus menyatakan pengakuannya bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup, maka Yesuspun menyatakan akan mendirikan jemaat-Nya di atas batu karang yang alam maut tidak akan menguasainya (Mt 16:16-19).
Demikianlah Petrus ditugaskan untuk menggembalakan domba-domba dengan cinta sehingga St. Ignatius dari Antiokia menyebut Gereja Roma sebagai “pemimpin cinta kasih”. Memang secara historis juga menjadi bagian dari kepercayaan bahwa para Paus merupakan pengganti Petrus (Paus yang pertama), yang memimpin Gereja bersama semua Uskup seluruh dunia secara kolegial disebut sebagai successio apostolica. Konsili Vatikan II menegaskan corak kolegial tugas penggembalaan ini yang bertanggungjawab bagi pelakasanaan tugas-tugas gereja : memimpin/melayani, mengajar, dan menguduskan. Akhir-akhir ini dialog ekumenis dengan Gereja-gereja Angklikan, Ortodoks, dan Protestan menunjukkan semakin dirasakannya kebutuhan membangun kesatuan dalam penghayatan iman dan kerjasama sebagai murid-murid Kristus.
Semua anggota gereja mengimani satu Tuhan, mempraktekkan satu iman, satu dalam komuni, dan ada di bawah kepala gereja yang satu, yaitu paus, yang mewakili kepala gereja yang tidak kelihatan, yaitu Yesus Kristus ( Yoh 10:16 ).
Konsili Vatikan II menyatakan bahwa ” Pola dan prinsip terluhur misteri kesatuan gereja ialah kesatuan Allah yang tunggal dalam tiga pribadi, Bapa, Putera, dan Roh Kudus” (UR 2). ”Allah telah berkenan menghimpun orang-orang yang beriman akan kristus menjadi umat Allah” ( 1Ptr 2:5-10) dan ”membuat mereka menjadi satu tubuh” ( 1Kor 12:12), (AA 18).
Kesatuan gereja itu sendiri tidak sama dengan keseragaman. Kesatuan gereja lebih tepat dimengerti sebagai ”Bhineka Tunggal Ika”, yang dimaksud sebagai kesatuan iman yang mungkin diucapkan dengan cara berbeda. Oleh karena itu, kesatuan lahir bukan dari keseragaman atau kesamaan, melainkan dari persekutuan dalam persaudaraan, baik dalam pengungkapan iman liturgis & katekis, maupun dalam perwujudan persekutuan dalam organisasi atau penampilan dalam masyarakat.
Kesatuan gereja harus diwujudkan dalam persekutuan kongkret antar umat beriman yang terarah pada kesatuan semua orang yang ”Berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni” (2Tim 2:22). Katekismus Gereja Katolik menjelaskan bahwa Gereja itu satu, karena tiga alasan. Pertama, Gereja itu satu menurut asalnya, yang adalah Tritunggal Mahakudus, kesatuan Allah tunggal dalam tiga Pribadi - Bapa, Putra dan Roh Kudus. Kedua, Gereja itu satu menurut pendiri-Nya, Yesus Kristus, yang telah mendamaikan semua orang dengan Allah melalui darah-Nya di salib. Ketiga, Gereja itu satu menurut jiwanya, yakni Roh Kudus, yang tinggal di hati umat beriman, yang menciptakan persekutuan umat beriman, dan yang memenuhi serta membimbing seluruh Gereja (#813).
“Kesatuan” Gereja juga kelihatan nyata. Sebagai orang-orang Katolik, kita dipersatukan dalam pengakuan iman yang satu dan sama, dalam perayaan ibadat bersama terutama sakramen-sakramen, dan struktur hierarkis berdasarkan suksesi apostolik yang dilestarikan dan diwariskan melalui Sakramen Tahbisan Suci. Sebagai misal, entah kita ikut ambil bagian dalam Misa di Surabaya, Alexandria, San Francisco, Moscow, Mexico City, atau di manapun, Misanya sama - bacaan-bacaan, tata perayaan, doa-doa, dan lain sebagainya terkecuali bahasa yang dipergunakan dapat berbeda - dirayakan oleh orang-orang percaya yang sama-sama beriman Katolik, dan dipersembahkan oleh Imam yang dipersatukan dengan Uskupnya, yang dipersatukan dengan Bapa Suci, Paus, penerus St Petrus.
Namun demikian, Gereja yang satu ini memiliki kemajemukan yang luar biasa. Umat beriman menjadi saksi iman dalam panggilan hidup yang berbeda-beda dan dalam beraneka bakat serta talenta, tetapi saling bekerjasama untuk meneruskan misi Tuhan kita. Keanekaragaman budaya dan tradisi memperkaya Gereja kita dalam ungkapan iman yang satu. Pada intinya, cinta kasih haruslah merasuki Gereja, sebab melalui cinta kasihlah para anggotanya saling dipersatukan dalam kebersamaan dan saling bekerjasama dalam persatuan yang harmonis.

B.     Gereja yang Kudus
Ciri yang kedua dari gereja adalah kekudusannya, Gereja itu kudus. Gereja katolik meyakini diri kudus bukan karena tiap anggotanya sudah kudus tetapi lebih-lebih karena dipanggil kepada kekudusan oleh Tuhan, “Hendaklah kamu sempuran sebagaimana Bapamu di surga sempurna adanya” (Mat 5:48). Perlu diperhatikan juga bahwa kategori kudus yang dimaksud terutama bukan dalam arti moral tetapi teologi, bukan soal baik atau buruknya tingkah laku melainkan hubungannya dengan Allah. Ini tidak berarti hidup yang sesuai dengan kaidah moral tidak penting. Namun kedekatan dengan yang Ilahi itu lebih penting, sebagaimana dinyatakan, “kamu telah memperoleh urapan dari Yang Kudus (1Yoh 2:20), yakni dari Roh Allah sendiri (bdk. Kis 10:38). Diharapkan dari diri seorang yang telah terpanggil kepada kekudusan seperti itu juga menanggapinya dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan kaidah-kaidah moral. Kita mengimani bahwa gereja tidak dapat kehilangan kesuciannya. Sebab Kristus, Putra Allah, yang bersama dengan  Bapa dan Roh, dipuji bahwa ’Hanya Dialah yang kudus’ , mengasihi gereja sebagai mempelaiNya.” (IG 39). Gereja itu kudus karena Kristus membuatnya Kudus.
Kekudusan gereja bukanlah suatu sifat yang seragam, melainkan semua mengambil bagian dalam satu kesucian gereja yang berasal dari Kristus, yang mengikut sertakan gereja dalam gerakanNya kepada Bapa dan Roh kudus.
Kudus menentukan hubungan dengan Allah. Maka Tuhan bersabda, ” Hendaklah kamu kudus, sebab Kuduslah Aku, Yahwe, Allahmu.” ( Im 19:2). karena pendiriannya, Yesus Kristus adalah kudus; gereja mengajarkan ajaranNya yang kudus, yang memungkinkan kita menjadi kudus ( 1 Pet 1:15 ). Yesus Kristus, kepala gereja yang tak pernah nampak, menyatakan kekudusanNya lewat ajaran-ajaranNya yang murni tanpa cacat cela yang Ia wartakan semasa hidupNya. Yesus menghendaki kita agar mengikutiNya (Mat 5:48 ). Dan melalui gereja dan 7 sakramen yang Ia tetapkan, Yesus menunjukkan jalanNya kepada kita. Setiap Sakramen & ajaran Gereja mendekatkan kekudusan ke dalam jangkauan kita.
Perjanjian Baru melihat proses pengudusan manusia sebagai ” Pengudusan oleh Roh.” ( 1Ptr 1:2 ; 2Tes 2:13). Gereja Yang Kudus. Tuhan kita Sendiri adalah sumber dari segala kekudusan: “Sebab hanya satulah Pengantara dan jalan keselamatan, yakni Kristus. Ia hadir bagi kita dalam tubuh-Nya, yakni Gereja” (Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, #14). Kristus menguduskan Gereja, dan pada gilirannya, melalui Dia dan bersama Dia, Gereja adalah agen pengudusan-Nya. Melalui pelayanan Gereja dan kuasa Roh Kudus, Tuhan kita mencurahkan berlimpah rahmat, teristimewa melalui sakramen-sakramen. Oleh karena itu, melalui ajarannya, doa dan sembah sujud, serta perbuatan-perbuatan baik, Gereja adalah tanda kekudusan yang kelihatan.

Namun demikian, kita patut ingat bahwa masing-masing kita, sebagai anggota Gereja, telah dipanggil kepada kekudusan. Melalui Sakramen Baptis, kita telah dibebaskan dari dosa asal, dipenuhi dengan rahmat pengudusan, dibenamkan ke dalam misteri sengsara, wafat dan kebangkitan Tuhan, dan dipersatukan ke dalam Gereja, “umat kudus Allah”. Dengan rahmat Tuhan, kita berjuang mencapai kekudusan. Konsili Vatican Kedua mendesak, “Segenap umat Katolik wajib menuju kesempurnaan Kristen, dan menurut situasi masing-masing mengusahakan, supaya Gereja, seraya membawa kerendahan hati dan kematian Yesus dalam tubuhnya, dari hari ke hari makin dibersihkan dan diperbaharui, sampai Kristus menempatkannya di hadapan Dirinya penuh kemuliaan, tanpa cacat atau kerut” (Dekrit tentang Ekumenisme, #4).
Gereja kita telah ditandai dengan teladan-teladan kekudusan yang luar biasa dalam hidup para kudus sepanjang masa. Tak peduli betapa gelapnya masa bagi Gereja kita, selalu ada para kudus besar melalui siapa terang Kristus dipancarkan. Ya, kita manusia yang rapuh, dan terkadang kita jatuh dalam dosa; tetapi, kita bertobat dari dosa kita dan sekali lagi kita melanjutkan perjalanan di jalan kekudusan. Dalam arti tertentu, Gereja kita adalah Gereja kaum pendosa, bukan kaum yang merasa diri benar atau merasa yakin akan keselamatannya sendiri. Salah satu doa terindah dalam Misa dipanjatkan sebelum Tanda Damai, “Tuhan Yesus Kristus, jangan memperhitungkan dosa kami, tetapi perhatikanlah iman Gereja-Mu.” Meski individu-individu warga Gereja rapuh dan malang, jatuh dan berdosa, Gereja terus menjadi tanda dan sarana kekudusan.
Singkatnya, Gereja yang kudus karena sumber (darimana ia berasal), tujuan (ke mana ia diarahkan), dan unsur-unsur ilahi yang otentik yang di dalamnya adalah Kudus.
1.      Sumber dari mana Gereja berasal adalah kudus. Gereja didirikan oleh Kristus, Gereja menerima kekudusannya dari Kristus dan doa-Nya. “Ya Bapa yang kudus,.....kuduskanlah mereka dalam kebenaran.....” (yoh 17:11)
2.      Tujuan dan arah Gereja adalah kudus. Gereja ditujukan untuk kemuliaan Allah dan penyelamatan umat manusia.
3.      Jiwa Gereja adalah Kudus, sebab jiwa Gereja adalah Roh Kudus itu sendiri.
4.      Unsur-unsur ilahi yang otentik yang ada di dalam Gereja adalah kudus, misalnya ajaran-ajaran dan sakremen.
5.      Anggota-anggota Gereja adalah kudus, karena ditandaai oleh Kristus melalui pembaptisan dan diserahkan kepada Kristus serta dipersatukan melalui iman, harapan, dan cinta yang kudus.

C.     Gereja yang Katolik
Ciri yang ketiga dari Gereja adalah katolik. Katolik dari kata Latin catholicus yang berarti universal atau umum. Nama yang sudah dipakai sejak awal abad ke II M. pada masa St. Ignatius dari Antiokia menjadi Uskup. Ciri ini juga sering berlaku untuk Gereja Angklikan dan Ortodoks. Ciri katolik ini mengandung arti Gereja  yang utuh, lengkap, tidak hanya setengah atau sebagian dalam mengetrapkan sistem yang berlaku dalam Gereja. Bersifat universal artinya Gereja Katolik itu mencakup semua orang yang telah dibaptis secara katolik di seluruh dunia dimana setiap orang menerima pengajaran iman dan moral serta berbagai tata liturgi yang sama di manpun berada. Kata universal juga sering dipakai untuk menegaskan tidak adanya sekte-sekte dalam Gereja Katolik. Konstitusi Lumen Gentium Konsili Vatikan ke II menegaskan arti kekatolikan itu : “Satu umat Allah itu hidup di tengah segala bangsa di dunia, karena memperoleh warganya dari segala bangsa. Gereja nemajukan dan menampung segala kemampuan, kekayaan dan adat istiadat bangsa-bangsa sejauh itu baik. Gereja yang katolik secara tepat guna dan tiada hentinya berusaha merangkum seganap umat manusia beserta segala harta kekayaannya di bawah Kristus Kepala, dalam kesatuan Roh-Nya” (LG. 13).
Dalam setiap jemaat setempat hadirlah gereja gereja seluruhnya. Gereja katholik yang satu dan tunggal berada dalam gereja-gereja setempat dan terhimpun daripadanya.” ( IG 23).
Gereja Katholik adalah KATOLIK ( Bahasa Yunani; yaitu ” umum ” ); dalam 3 hal. Umum menurut waktu, karena sejak Kristus mengutus para rasulNya hingga saat ini, Gereja berdiri, mengajar, serta berkarya, untuk membawa orang datang pada Kristus. Umum menurut tempat, karena gereja tidak terikat pada bangsa manapun. Gereja terbuka bagi semua orang ( Mat 28:19). Umum menurut ajarannya, karena gereja menawarkan ajaran-ajaran dan sakramen-sakramen yang sama dimanapun, dalam bahasa apapun, dan dalam segala tingkatan social.


D.    Gereja yang Apostolik
Ciri yang terakhir dari Gereja Katolik adalah apostolik. Dengan ciri ini mau ditegaskan adanya kesadaran bahwa Gereja “dibangun atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru” (Ef. 2:20). Gereja Katolik mementingkan hubungan historis, turun temurun, antara para rasul dan pengganti mereka, yaitu para uskup. Dengan demikian juga menjadi jelas mengapa Gereja Katolik tidak hanya mendasarkan diri dalam hal ajaran-ajaran dan eksistensinya pada Kitabsuci melainkan juga kepada Tradisi Suci dan Magisterium Gereja sepanjang masa.
Yang disebut Tradisi Suci adalah pengajaran yang bersumber pada ajaran lisan sejak zaman Yesus dan para Rasul. Antara keduanya, Tradisi Suci dan Kitabsuci, tidak ada perbedaannya bahkan saling melengkapi karena berasal dari sumber yang sama. Ini juga sesuai dengan yang tertulis pada Injil Yohanes, “Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu” (Yoh 21:25). Sedangkan Magisterium Gereja artinya adalah wewenang yang dimiliki sebagai warisan oleh Gereja untuk mengajar dan menafsirkan Kitabsuci.
Sebagaimana diketahui bahwa tak semua ayat pada Kitabsuci mudah untuk dimengerti maka Gereja adalah pihak yang berwewenang untuk menafsirkannya agar umatnya tidak tersesat (bdk. Kis 8:30-31). Wewenang Gereja mengajar juga adalah warisan sebagaimana Kristus telah menyerahkan-Nya kepada Petrus dan para Rasul untuk mengajar atas nama-Nya (bdk. Mt. 16:13-20; Luk 10:16). Dalam prakteknya Gereja selalu dengan seksama menyelenggarakan pengajaran iman atau penafsiran Kitabsuci itu dengan tenaga pengajar yang qualified dan menggunakan buku-buku resmi yang dicetak seizin Uskup (imprimatur) dan sudah dinyatakan isinya tanpa sesat (nihil obstat).
Demikianlah Gereja Katolik dalam meneruskan amanat yang diterima oleh Petrus, karena ia mencintai Kristus maka Kristus berkata, “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yoh 21:15-17).

Tidak ada komentar:

Belajar Menulis "Menunggu..."

Pelatihan Belajar Menulis Menulis di Kompasiana   Tak terasa sudah beranjak malam, ketika saya keluar dari ruang perawatan di salah sa...