SIFAT-SIFAT GEREJA
Ada ungkapan mengatakan, “tak kenal maka tak
sayang”. Ternyata ungkapan ini juga berlaku untuk masalah pokok-pokok iman baik
yang terdapat pada agamanya sendiri maupun yang terdapat di agama lain. Paparan
berikut adalah sepotong kecil dari pokok iman yang dipegang oleh Gereja
Katolik.
Syahadat
iman Gereja Katolik dirumuskan dalam Kredo (credere = percaya). Ada dua rumusan
kredo yaitu rumusan pendek dan rumusan panjang. Syahadat rumusan pendek disebut
Syahadat Para Rasul karena menurut tradisi syahadat ini disusun oleh para
rasul.Yang panjang disebut Syahadat Nikea yang disahkan dalam Konsili
Nikea (325) yang menekankan keilahian Yesus. Dikemudian hari lazim
disebut sebagai Syadat Nikea-Konstantinopel karena berhubungan dengan Konsili
Konstantinopel I (381). Pada Konsili ini ditekankan keilahian Roh Kudus yang
harus disembah dan dimuliakan bersama Bapa dan Putera. Syahadat
inilah yang lebih banyak digunakan dalam liturgi-liturgi Gereja Katolik. Di
dalam rumusan syahadat panjang itu pada bagian akhir dinyatakan ke empat sifat
atau ciri gereja katolik : satu,
kudus, katolik dan apostolik.
A. Gereja yang Satu
Gereja percaya akan kehendak Allah,
sebagaimana tertulis dalam Kitabsuci, bahwa orang-orang beriman kepada Kristus
hendaknya berhimpun menjadi Umat Allah (1Ptr
2:5-10) dan menjadi satu Tubuh (1Kor
12:12). Gereja Katolik percaya bahwa kesatuan itu menjadi begitu
kokoh dan kuat karena secara historis bertolak dari penetapan Petrus sebagai
penerima kunci Kerajaan Surga. Setelah Petrus menyatakan pengakuannya bahwa
Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup, maka Yesuspun menyatakan akan
mendirikan jemaat-Nya di atas batu karang yang alam maut tidak akan
menguasainya (Mt
16:16-19).
Demikianlah Petrus ditugaskan untuk
menggembalakan domba-domba dengan cinta sehingga St. Ignatius dari Antiokia
menyebut Gereja Roma sebagai “pemimpin cinta kasih”. Memang secara historis
juga menjadi bagian dari kepercayaan bahwa para Paus merupakan pengganti Petrus
(Paus yang pertama), yang memimpin Gereja bersama semua Uskup seluruh dunia
secara kolegial disebut sebagai successio
apostolica. Konsili Vatikan II menegaskan corak kolegial tugas
penggembalaan ini yang bertanggungjawab bagi pelakasanaan tugas-tugas gereja :
memimpin/melayani, mengajar, dan menguduskan. Akhir-akhir ini dialog ekumenis
dengan Gereja-gereja Angklikan, Ortodoks, dan Protestan menunjukkan semakin
dirasakannya kebutuhan membangun kesatuan dalam penghayatan iman dan kerjasama
sebagai murid-murid Kristus.
Semua anggota gereja mengimani satu Tuhan,
mempraktekkan satu iman, satu dalam komuni, dan ada di bawah kepala gereja yang
satu, yaitu paus, yang mewakili kepala gereja yang tidak kelihatan, yaitu Yesus
Kristus ( Yoh 10:16 ).
Konsili Vatikan II menyatakan bahwa ” Pola dan prinsip terluhur misteri
kesatuan gereja ialah kesatuan Allah yang tunggal dalam tiga pribadi, Bapa,
Putera, dan Roh Kudus” (UR 2). ”Allah telah berkenan menghimpun orang-orang
yang beriman akan kristus menjadi umat Allah” ( 1Ptr 2:5-10) dan ”membuat
mereka menjadi satu tubuh” ( 1Kor 12:12), (AA 18).
Kesatuan gereja itu sendiri tidak sama dengan
keseragaman. Kesatuan gereja lebih tepat dimengerti sebagai ”Bhineka Tunggal
Ika”, yang dimaksud sebagai kesatuan iman yang mungkin diucapkan dengan cara
berbeda. Oleh karena itu, kesatuan lahir bukan dari keseragaman atau kesamaan,
melainkan dari persekutuan dalam persaudaraan, baik dalam pengungkapan iman
liturgis & katekis, maupun dalam perwujudan persekutuan dalam organisasi
atau penampilan dalam masyarakat.
Kesatuan gereja harus diwujudkan dalam persekutuan
kongkret antar umat beriman yang terarah pada kesatuan semua orang yang
”Berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni” (2Tim 2:22). Katekismus Gereja Katolik menjelaskan bahwa Gereja itu
satu, karena tiga alasan. Pertama, Gereja itu satu menurut asalnya, yang adalah
Tritunggal Mahakudus, kesatuan Allah tunggal dalam tiga Pribadi - Bapa, Putra
dan Roh Kudus. Kedua, Gereja itu satu menurut pendiri-Nya, Yesus Kristus, yang
telah mendamaikan semua orang dengan Allah melalui darah-Nya di salib. Ketiga,
Gereja itu satu menurut jiwanya, yakni Roh Kudus, yang tinggal di hati umat
beriman, yang menciptakan persekutuan umat beriman, dan yang memenuhi serta
membimbing seluruh Gereja (#813).
“Kesatuan” Gereja juga kelihatan nyata. Sebagai
orang-orang Katolik, kita dipersatukan dalam pengakuan iman yang satu dan sama,
dalam perayaan ibadat bersama terutama sakramen-sakramen, dan struktur
hierarkis berdasarkan suksesi apostolik yang dilestarikan dan diwariskan
melalui Sakramen Tahbisan Suci. Sebagai misal, entah kita ikut ambil bagian
dalam Misa di Surabaya, Alexandria, San Francisco, Moscow, Mexico City, atau di
manapun, Misanya sama - bacaan-bacaan, tata perayaan, doa-doa, dan lain
sebagainya terkecuali bahasa yang dipergunakan dapat berbeda - dirayakan oleh
orang-orang percaya yang sama-sama beriman Katolik, dan dipersembahkan oleh
Imam yang dipersatukan dengan Uskupnya, yang dipersatukan dengan Bapa Suci,
Paus, penerus St Petrus.
Namun demikian, Gereja yang satu ini
memiliki kemajemukan yang luar biasa. Umat beriman menjadi saksi iman dalam
panggilan hidup yang berbeda-beda dan dalam beraneka bakat serta talenta, tetapi
saling bekerjasama untuk meneruskan misi Tuhan kita. Keanekaragaman budaya dan
tradisi memperkaya Gereja kita dalam ungkapan iman yang satu. Pada intinya,
cinta kasih haruslah merasuki Gereja, sebab melalui cinta kasihlah para
anggotanya saling dipersatukan dalam kebersamaan dan saling bekerjasama dalam
persatuan yang harmonis.
B. Gereja yang Kudus
Ciri yang kedua
dari gereja adalah kekudusannya, Gereja itu kudus. Gereja katolik meyakini diri
kudus bukan karena tiap anggotanya sudah kudus tetapi lebih-lebih karena
dipanggil kepada kekudusan oleh Tuhan, “Hendaklah kamu sempuran sebagaimana
Bapamu di surga sempurna adanya” (Mat
5:48). Perlu diperhatikan juga bahwa kategori kudus yang dimaksud
terutama bukan dalam arti moral tetapi teologi, bukan soal baik atau buruknya
tingkah laku melainkan hubungannya dengan Allah. Ini tidak berarti hidup yang
sesuai dengan kaidah moral tidak penting. Namun kedekatan dengan yang Ilahi itu
lebih penting, sebagaimana dinyatakan, “kamu telah memperoleh urapan dari Yang
Kudus (1Yoh 2:20), yakni
dari Roh Allah sendiri (bdk.
Kis 10:38). Diharapkan dari diri seorang yang telah terpanggil
kepada kekudusan seperti itu juga menanggapinya dalam kehidupan sehari-hari
yang sesuai dengan kaidah-kaidah moral. Kita mengimani bahwa gereja tidak dapat kehilangan kesuciannya. Sebab
Kristus, Putra Allah, yang bersama dengan
Bapa dan Roh, dipuji bahwa ’Hanya Dialah yang kudus’ , mengasihi gereja
sebagai mempelaiNya.” (IG 39). Gereja itu kudus karena Kristus
membuatnya Kudus.
Kekudusan gereja bukanlah suatu sifat yang seragam, melainkan semua
mengambil bagian dalam satu kesucian gereja yang berasal dari Kristus, yang
mengikut sertakan gereja dalam gerakanNya kepada Bapa dan Roh kudus.
Kudus menentukan hubungan dengan Allah. Maka Tuhan bersabda, ” Hendaklah
kamu kudus, sebab Kuduslah Aku, Yahwe, Allahmu.” ( Im 19:2). karena
pendiriannya, Yesus Kristus adalah kudus; gereja mengajarkan ajaranNya yang
kudus, yang memungkinkan kita menjadi kudus ( 1 Pet 1:15 ). Yesus Kristus,
kepala gereja yang tak pernah nampak, menyatakan kekudusanNya lewat
ajaran-ajaranNya yang murni tanpa cacat cela yang Ia wartakan semasa hidupNya.
Yesus menghendaki kita agar mengikutiNya (Mat 5:48 ). Dan melalui gereja dan 7
sakramen yang Ia tetapkan, Yesus menunjukkan jalanNya kepada kita. Setiap
Sakramen & ajaran Gereja mendekatkan kekudusan ke dalam jangkauan kita.
Perjanjian Baru melihat proses pengudusan manusia
sebagai ” Pengudusan oleh Roh.” ( 1Ptr 1:2 ; 2Tes 2:13). Gereja Yang Kudus. Tuhan kita Sendiri adalah sumber
dari segala kekudusan: “Sebab hanya satulah Pengantara dan jalan keselamatan,
yakni Kristus. Ia hadir bagi kita dalam tubuh-Nya, yakni Gereja” (Konstitusi
Dogmatis tentang Gereja, #14). Kristus menguduskan Gereja, dan pada gilirannya,
melalui Dia dan bersama Dia, Gereja adalah agen pengudusan-Nya. Melalui
pelayanan Gereja dan kuasa Roh Kudus, Tuhan kita mencurahkan berlimpah rahmat,
teristimewa melalui sakramen-sakramen. Oleh karena itu, melalui ajarannya, doa
dan sembah sujud, serta perbuatan-perbuatan baik, Gereja adalah tanda kekudusan
yang kelihatan.
Namun demikian, kita patut ingat bahwa masing-masing
kita, sebagai anggota Gereja, telah dipanggil kepada kekudusan. Melalui
Sakramen Baptis, kita telah dibebaskan dari dosa asal, dipenuhi dengan rahmat
pengudusan, dibenamkan ke dalam misteri sengsara, wafat dan kebangkitan Tuhan,
dan dipersatukan ke dalam Gereja, “umat kudus Allah”. Dengan rahmat Tuhan, kita
berjuang mencapai kekudusan. Konsili Vatican Kedua mendesak, “Segenap umat
Katolik wajib menuju kesempurnaan Kristen, dan menurut situasi masing-masing
mengusahakan, supaya Gereja, seraya membawa kerendahan hati dan kematian Yesus
dalam tubuhnya, dari hari ke hari makin dibersihkan dan diperbaharui, sampai
Kristus menempatkannya di hadapan Dirinya penuh kemuliaan, tanpa cacat atau
kerut” (Dekrit tentang Ekumenisme, #4).
Gereja kita telah ditandai dengan
teladan-teladan kekudusan yang luar biasa dalam hidup para kudus sepanjang
masa. Tak peduli betapa gelapnya masa bagi Gereja kita, selalu ada para kudus
besar melalui siapa terang Kristus dipancarkan. Ya, kita manusia yang rapuh,
dan terkadang kita jatuh dalam dosa; tetapi, kita bertobat dari dosa kita dan
sekali lagi kita melanjutkan perjalanan di jalan kekudusan. Dalam arti
tertentu, Gereja kita adalah Gereja kaum pendosa, bukan kaum yang merasa diri
benar atau merasa yakin akan keselamatannya sendiri. Salah satu doa terindah
dalam Misa dipanjatkan sebelum Tanda Damai, “Tuhan Yesus Kristus, jangan
memperhitungkan dosa kami, tetapi perhatikanlah iman Gereja-Mu.” Meski
individu-individu warga Gereja rapuh dan malang, jatuh dan berdosa, Gereja
terus menjadi tanda dan sarana kekudusan.
Singkatnya, Gereja yang kudus
karena sumber (darimana ia berasal), tujuan (ke mana ia diarahkan), dan
unsur-unsur ilahi yang otentik yang di dalamnya adalah Kudus.
1. Sumber dari mana Gereja berasal
adalah kudus. Gereja didirikan oleh Kristus, Gereja menerima kekudusannya dari
Kristus dan doa-Nya. “Ya Bapa yang kudus,.....kuduskanlah mereka dalam
kebenaran.....” (yoh 17:11)
2. Tujuan dan arah Gereja adalah
kudus. Gereja ditujukan untuk kemuliaan Allah dan penyelamatan umat manusia.
3. Jiwa Gereja adalah Kudus, sebab
jiwa Gereja adalah Roh Kudus itu sendiri.
4. Unsur-unsur ilahi yang otentik
yang ada di dalam Gereja adalah kudus, misalnya ajaran-ajaran dan sakremen.
5. Anggota-anggota Gereja adalah
kudus, karena ditandaai oleh Kristus melalui pembaptisan dan diserahkan kepada
Kristus serta dipersatukan melalui iman, harapan, dan cinta yang kudus.
C.
Gereja yang Katolik
Ciri
yang ketiga dari Gereja adalah katolik. Katolik dari kata Latin catholicus yang
berarti universal atau umum. Nama yang sudah dipakai sejak awal abad ke II M.
pada masa St. Ignatius dari Antiokia menjadi Uskup. Ciri ini juga sering
berlaku untuk Gereja Angklikan dan Ortodoks. Ciri katolik ini mengandung arti
Gereja yang utuh, lengkap, tidak hanya setengah atau sebagian dalam
mengetrapkan sistem yang berlaku dalam Gereja. Bersifat universal artinya
Gereja Katolik itu mencakup semua orang yang telah dibaptis secara katolik di
seluruh dunia dimana setiap orang menerima pengajaran iman dan moral serta
berbagai tata liturgi yang sama di manpun berada. Kata universal juga sering
dipakai untuk menegaskan tidak adanya sekte-sekte dalam Gereja Katolik.
Konstitusi Lumen Gentium Konsili Vatikan ke II menegaskan arti kekatolikan itu
: “Satu umat Allah itu hidup di tengah segala bangsa di dunia, karena
memperoleh warganya dari segala bangsa. Gereja nemajukan dan menampung segala
kemampuan, kekayaan dan adat istiadat bangsa-bangsa sejauh itu baik. Gereja
yang katolik secara tepat guna dan tiada hentinya berusaha merangkum seganap
umat manusia beserta segala harta kekayaannya di bawah Kristus Kepala, dalam
kesatuan Roh-Nya” (LG. 13).
Dalam setiap jemaat setempat hadirlah gereja gereja
seluruhnya. Gereja katholik yang satu dan tunggal berada dalam gereja-gereja
setempat dan terhimpun daripadanya.” ( IG 23).
Gereja Katholik adalah KATOLIK ( Bahasa Yunani; yaitu ” umum ” );
dalam 3 hal. Umum menurut waktu, karena sejak Kristus mengutus para rasulNya
hingga saat ini, Gereja berdiri, mengajar, serta berkarya, untuk membawa orang
datang pada Kristus. Umum menurut tempat, karena gereja tidak terikat pada
bangsa manapun. Gereja terbuka bagi semua orang ( Mat 28:19). Umum menurut
ajarannya, karena gereja menawarkan ajaran-ajaran dan sakramen-sakramen yang
sama dimanapun, dalam bahasa apapun, dan dalam segala tingkatan social.
D.
Gereja yang Apostolik
Ciri
yang terakhir dari Gereja Katolik adalah apostolik. Dengan ciri ini mau
ditegaskan adanya kesadaran bahwa Gereja “dibangun atas dasar para rasul dan
para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru” (Ef. 2:20). Gereja
Katolik mementingkan hubungan historis, turun temurun, antara para rasul dan
pengganti mereka, yaitu para uskup. Dengan demikian juga menjadi jelas mengapa
Gereja Katolik tidak hanya mendasarkan diri dalam hal ajaran-ajaran dan
eksistensinya pada Kitabsuci melainkan juga kepada Tradisi Suci dan Magisterium
Gereja sepanjang masa.
Yang
disebut Tradisi Suci adalah pengajaran yang bersumber pada ajaran lisan sejak
zaman Yesus dan para Rasul. Antara keduanya, Tradisi Suci dan Kitabsuci, tidak
ada perbedaannya bahkan saling melengkapi karena berasal dari sumber yang sama.
Ini juga sesuai dengan yang tertulis pada Injil Yohanes, “Masih banyak hal-hal
lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus
dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab
yang harus ditulis itu” (Yoh
21:25). Sedangkan Magisterium Gereja artinya adalah wewenang yang
dimiliki sebagai warisan oleh Gereja untuk mengajar dan menafsirkan Kitabsuci.
Sebagaimana
diketahui bahwa tak semua ayat pada Kitabsuci mudah untuk dimengerti maka Gereja
adalah pihak yang berwewenang untuk menafsirkannya agar umatnya tidak tersesat (bdk. Kis 8:30-31).
Wewenang Gereja mengajar juga adalah warisan sebagaimana Kristus telah
menyerahkan-Nya kepada Petrus dan para Rasul untuk mengajar atas nama-Nya (bdk. Mt. 16:13-20; Luk 10:16). Dalam
prakteknya Gereja selalu dengan seksama menyelenggarakan pengajaran iman atau
penafsiran Kitabsuci itu dengan tenaga pengajar yang qualified dan menggunakan
buku-buku resmi yang dicetak seizin Uskup (imprimatur) dan sudah dinyatakan
isinya tanpa sesat (nihil obstat).
Demikianlah
Gereja Katolik dalam meneruskan amanat yang diterima oleh Petrus, karena ia
mencintai Kristus maka Kristus berkata, “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yoh 21:15-17).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar