9.1. Pengertian
Perkawinan
campur, yaitu perkawinan antara seorang baptis Katolik dan pasangan yang bukan
Katolik (bisa baptis dalam gereja lain, maupun tidak dibaptis). Gereja memberi
kemungkinan untuk perkawinan campur karena membela dua hak asasi, yaitu hak
untuk menikah dan hak untuk memilih pegangan hidup (agama) sesuai dengan hati
nuraninya.
Keyakinan
Gereja tentang perkawinan sebagai sakramen dan dimungkinkannya perkawinan
campur tidak boleh diartikan bahwa Gereja membedakan dua perkawinan, seakan-akan
ada perkawinan kelas 1 dan kelas 2. Perkawinan yang sudah diteguhkan secar sah
dan dimohonkan berkat dari Tuhan apapun jenisnya, semuanya berkenan di hadapan
Tuhan. Semuanya dipanggil untuk memberi kesaksian akan
kasih Kristus kepada manusia.
9.2. Dua Jenis Perkawinan Campur
Perkawinan campur beda gereja (seorang baptis Katolik menikah dengan seorang baptis non-Katolik)
perkawinan ini membutuhkan ijin.
Perkawinan campur beda agama (seorang dibaptis Katolik menikah dengan seorang yang tidak dibaptis)
untuk sahnya dibutuhkan dispensasi.
1. Dalam Pernikahan Beda Gereja
Terbuka
perkawinan ekumenis di hadapan pelayan Katolik dan pendeta, kalau perlu bahkan
dengan dispensasi dari tata peneguhan kanonik (bila pernyataan konsensus tidak
diterima oleh pelayan Katolik). Maka perlu disepakati pembagian tugas yang
jelas antara pelayan Katolik dan pendeta, misalnya firman dan berkat diserahkan
kepada pendeta, sedangkan pelaksanaan tata peneguhan Katolik dipercayakan
kepada pelayan Katolik, demi sahnya perkawinan.
2. Dalam Pernikahan Beda Agama
Terutama
pihak non-Katolik dapat mempunyai keberatan, mungkin bahkan menurut hati
nuraninya: sebelum menikah menurut agamanya, perkawinan tidak sah, dan
hubungannya dirasakan sebagai zinah. Atau dapat juga terjadi bahwa fakta ini
dipakai sebagai kesempatan untuk berpisah (menceraikan jodohnya) dengan alasan:
belum menikah sah.
9.3. Pastoral Kawin Campur
Memang
sudah banyak ajakan untuk meningkatkan pastoral perkawinan dan keluarga, tak
hanya untuk tahap persiapan perkawinan yang hanya meliputi waktu yang amat
pendek, melainkan terutama untuk tahap pasca-nikah yang meliputi hal-hal
praktis seluruh hidup perkawinan. Namun demikian upaya-upaya itu kerapkali
masih sporadis dan insidental, daripada gerakan yang melibatkan seluruh umat.
Dalam
pandangan Gereja tentang kawin campur sudah disebut unsur-unsur (misalnya
sehubungan dengan interaksi antara perkawinan dan agama) yang menggarisbawahi
perlunya pastoral perkawinan dan keluarga pada umumnya, dan kawin campur pada
khususnya.
Mengingat
makna perkawinan dan keluarga, dibandingkan dengan upaya dan program pembinaan,
apa yang diusahakan untuk mereka yang hidup berkeluarga masih amat kecil.
9.4. Beberapa Catatan dan Harapan
Hal
yang utama dalam perkawinan adalah kasih. Kasih yang selalu terikat pada
pribadi. Perlu senantiasa mengusahakan berbagai hal yang menyatukan. De fakto
dalam perkawinan campur ada perbedaan, namun membicarakan perbedaan tidaklah
berguna bahkan menimbulkan kerenggangan. Senantiasa
yakin akan pemeliharaan dan penyertaan Tuhan.
* Previlegi
Paulinum (Kan. 1143-1147; 1150). Untuk memutuskan ikatan perkawinan dengan
memakai Previlegi Paulinum demi iman pihak yang dibaptis, prinsip dasarnya
ialah:
a). Pada
awalnya perkawinan itu dilangsungkan oleh dua orang yang tidak dibaptis;
b). Kemudian
salah satu pihak dibaptis;
c). pihak
non-baptis tidak lagi ingin hidup bersama atau pergi;
d). demi
sahnya perkawinan baru dari pihak baptis, maka pihak non-baptis itu
diinterpelasi tentang apakah ia juga mau dibaptis, apakah ia masih mau hidup
bersama dengan pihak yang dibaptis secara damai. Jika dirasa interpelasi tidak
berguna, maka ordinaries wilayah dapat memberi dispensasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar