Selasa, 23 Mei 2017

Keluhuranku Sebagai Citra Allah

Pribadi kita sebagai manusia yang berharga, kita diciptakan Allah sebagai citra-Nya. Sepantasnyalah kita setiap manusia saling menghormati dan menghargai, walaupun ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam perbedaan itu manusia diajak untuk menyadari bahwa setiap pribadi mempunyai keutuhan, tidak hanya secara fisik, tetapi juga rohani. Setiap manusia mempunyai pikiran, perasaan, kehendak, dan tindakan, segalanya tak hanya bersifat fisik dan mekanis, tetapi didasari olah jiwa yang membuat manusia berperasaan dan berkehendak, keluhuran martabat inilah yang seharusnya menyadarkan kita untuk selalu mengembangkan dan mempersembahkan segala yang telah dikaruniakan Allah kepada kita dengan sebaik mungkin.

A. Semua Manusia Secitra
Pribadi manusia merupajan pribadi yang secitra dengan Allah. Allah menganugerahkan berkat pada setiap pribadi tanpa terkecuali, walaupun dengan keterbatasan masing-masing. Semua manusia adalah satu saudara dan luhur adanya.
1. Semua Manusia Sesama dan Saudara dalam Allah.
Kita semua adalah pribadi manusia yang diciptakan Allah. Setiap dari kita adalah pribadi yang paling luhur, menjadi berkat bagi sesame. Dalam Kitab Nabi Yeremia dikatakan, “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa” (Yer 1:5). Dengan demikian dapat dikatakan lewat kutipan teks tersebut mau mengatakan betapa Allah telah memberikan karunia keluhuran bagi setiap pribadi. Anugerah yang diberikan sebelum kita di lahirkan di dunia. Anugerah, bahwa kita semua berarti dan dipilih oleh Allah dalam situasi apapun, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang kita miliki.
Dalam kekurangan dan kelebihan itu baik secara fisik, tetaplah merupakan pribadi yang bermartabat. Martabat itu tentu bukan diukur dari segi badan dan lahiriah, tetapi dari siapakan diri kita sebenarnya, yaitu pribadi yang telah diciptakan Allah sesuai dengan citra-Nya (seturut gambar dan rupa-Nya). Citra Allah menunjukkan bahwa kita sebagai makhluk ciptaan yang paling mulia, kita menyerupai Allah (bdk. Mzm 8:5). Citra itu pancaran. Manusia mencerminkan atau merupakan pancaran dari Allah. Artinya, bahwa di dalam martabat setiap pribadi manusia, dapat dilihat gambaran dan pantulan rupa Allah. Semua pribadi manusia tercipta baik adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, manusia tetap manusia yang bermartabat. Dalam diri setiap pribadi, kita percaya ada pancaran kebaikan-kebaikan Allah.
Dan karena kita semua adalah citra Allah, maka kita harus menghargai sesame manusia dengan segala kelebihan dan kekurangan baik secara fisik-lahiriahnya dan sifat-sifatnya, kita berkewajiban menjada dan mengembangkan martabat. Mengembangkan kebaikan-kebaikan dan segala sesuatu yang kita lakukan supaya bermanfaat bagi sesame kita, apapun bentuknya. Karena semua manusia sesame dan saudara dalam Allah.
2. Sikap dan Tindakan Manghargai Sesama
Manusia adalah citra Allah, dalam konteks hidup sekarang, kita banyak melihat berbagai peristiwa hidup yang terkadang berjalan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Lewat media massa kita banyak melihat peristiwa-peristiwa kekerasan yang sangat memprihatinkan, manusia tidak dihargai martabatnya. Konflik kepentingan yang terkadang tidak lepas dari isu SARA muncul begitu banyak di wilayah Indonesia, mulai dari Ambon sampai Papua. Tidak ketinggalah tindakan terorisme, yang merenggut nyawa tidak sedikit. Martabat manusia seakan menjadi sebuah barang mainan yang dapat dipermainkan seenaknya.
Ada beberapa sebab yang dapat memunculkan konflik. Salah satu sebab munculnya konflik adalah perbedaan, perbedaan yang dibawa setiap individu dalam suatu interaksi bersama orang lain. Sebab lain adalah perasaan terancam, orang atau golongan yang merasa teracam akan cenderung bersikap fanatik, misalnya munculnya isu Kristenisasi atau Islamisasi dapat membuat kedua kelompok bersikap fanatik.
Banyak cara telah dilakukan demi perdamaian. Dialog menjadi tema utama dalam setiap penyelesaian konflik. Yang diharapkan bahwa dialog bukan semata-mata pertemuan dua kelompok atau lebih, melainkan tindakan nyata dan konkret demi terciptanya perdamaian. Jika cara berfikir kita hanya sebatas, bahwa orang lain adalah “obyek”, maka orang lain dipandang selalu sebagai “yang lain”. Jika demikian, maka yang terjadi adalah bahwa kita selalu menolak keberadaan pribadi orang lain sebagai seseorang yang berharga dan sederajat dengan kita. Sehingga kita melihat orang lain lebih rendah, tidak bermarabat, tidak bermoral dan sebagainya. Dampak dari sikap ini adalah kekerasan, pembunuhan, bahkan penghancuran kelompok tertentu. Kekerasan yang terjadi ini sebenarnya dilatarbelakangi atas proses berfikir yang sempit, yaitu bagaimana manusia memandang sesame sebagai hubungan subyek dan obyek.
Melalui konflik, seharusnya kita disadarkan betapa pentingnya kita saling mengoreksi diri, betapa masih banyak kekurangan yang ada dalam diri kita berhubungan dengan orang lain. Keterbukaan hati untuk saling memahami, menjadi titik awal bagaimana sebuah kedewasaan dibangun. Membangun sikap positif dalam berkomunikasi dengan orang lain, menghormati dan menghargai orang lain secara tulus memungkinkan kesalahpahaman dan konflik dapat dihindari. Bersikap dan berfikir positif terhadap orang lain mempunyai unsur-unsur, diantaranya kesediaan mendengarkan, menghargai pendapat, dan melibatkan diri (berempati). Dengan ini orang akan memiliki harga diri sehingga akan membantu menciptakan komunikasi yang bermakna dan mendalam. Sikap ini perlu diperkuat dengan cara pandang kita untuk menjauhkan diri dari sikap yang berlebihan. Menghargai kemajemukan dengan berfikir dan bersikap terbuka atau inklusif.
Dalam Kitab Suci digambarkan dengan jelas bagaimana manusia yang diciptakan secitra dan segambar dengan Allah itu diharapkan mampu memancarkan kasih Allah kepada sesama.
a. Kesetaraan martabat, setiap manusia memiliki kesataraan martabat dan hak asasi dihadapan Allah. Manusia diciptakan sebagai “Citra Allah” (Kej 1:27), atau “Gambaran Allah yang tak kelihatan (Kol 1:15), yang dipanggil untuk menjadi “Anak Allah” (Yoh 3:1-2)
b. Pluralisme atau kemajemukan adalah suatu kenyataan. Perbedaan yang ada sebagai salah satu jalan untuk menyempurnakan satu sama lain. Seperti halnya tubuh, banyak anggota tetapi satu tubuh. Beberapa talenta, kurnia dan panggilan, tetapi satu rekan sekerja Allah (1Kor 1:10 ; Rom 12)
c. Ada perbedaan, dapat membantu orang untuk mawar diri, sehingga tidak mudah untuk menghakimi atau mengadili orang lain. Serahkan penghakiman itu pada Allah. Hendaknya kita suka mengampuni orang lain, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kita (Mat 7:1-5; Luk 6:37-42; Ef 4:32)
d. Hukum cinta kasih, adalah dasar utama mengapa kita harus toleran kepada sesama. Cinta berarti menerima orang lain apa adanya sesuai dengan identitasnya yang berbeda atau justru karena identitasnya yang berbeda. Yesus mengajarkan kita untuk saling mencintai tanpa syarat. (Luk 10:25-37).
Dengan demikian menjadi jelas, orang diharapkan mampu memancarkan kasih Allah kepada sesame, dengan sikap dan tindakan itu manusia menunjukkan tugasnya yang utama sebagai citra Allah.
3. Upaya Menjaga Keluhuranku Sebagai Manusia.
Hidup kita sebagai manusia merupakan anugerah yang luar biasa yang patut untuk diperjuangkan. Kehidupan demikian besar artinya “Hidup ditandai ciri yang tak terhapuskan, yaitu kebenarannya sendiri, dengan menerima karunia Allah, manusia wajib mempertahankan hidup dalam kebenaran itu yang memang hakiki baginya (EV. Art 48). Perjuangan kita untuk mempertahankan hidup betapa hakikinya kehidupan ini, menjadi tonggak yang tak pernah ada habisnya.
Kalau kita melihat perjalanan sejarah, muncul begitu banyak persoalan yang menghancurkan harkat dan martabat serta keluhuran manusia, di satu sisi. Banyak orang yang berjuang untuk mengatasi ancaman tersebut. Ketidakadilan dan penindasar harkat manusia terjadi, disitulah muncul perlawanan. Kita lihat peristiwa di Amerika Latin, terjadi penindasan terhadap kaum miskin, oleh para tuan tanah dan penguasa. Di mana peristiwa tersebut melahirkan pengorbanan Uskup Oscar Romero dan beberapa Jesuit dan perempuan. Peristiwa ini melahirkan refleksi yang mendalam betapa perjuangan mempertahankan keadilan menuai tantangan yang begitu besar, butuh pengorbanan. Mahatma Gandhi, mengusahakan sebuah gerakan “ahimsa”, betapa melalui kekerasan yang begitu besar, kelembutan dan cinta damai menjadi bagian perjuangan yang harus diangkat. Bunda Teresa dari Kalkuta, memberikan tangannya dalam mengabdikan diri kepada kehidupan, kepad mereka yang miskin dan tersingkir, untuk mengangkat mereka supaya bermartabat seperti manusia yang lainnya.
Kehidupan adalah milik Allah sebagai sumber segala kehidupan. Allah senantiasa berbelas kasih kepada manusia untuk mengangkat manusia ke dalam kemuliaan. Dan setiap orang menurut kodratnya memiliki hak hidup, hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, aman, dan damai, tempat tinggal yang nyaman. Hak untuk tumbuh dan berkembang secara penuh, memperolah keadilan dan cinta, perlindungan dan segala sesuatu yang membuat sesorang merasa terlindungi. Setiap orang memiliki kesetaraan martabat dan hak asasi di hadapan Allah. Manusia diciptakan sebagai “citra Allah” (Kej 1:27).
B. Aku Memiliki Roh, Jiwa, dan Raga, yang Berkemampuan Memiliki Pikiran, Perasaan, Kehendak.
Pribadi manusia tidak hanya fisik, tetapi juga jiwa dan roh. Kita mempunyai pikiran, perasaan, kehendak dan tindakan. Hal inilah yang menjadikan manusia seseorang yang bermartabat.
1. Struktur Dasar Manusia: Roh, Jiwa, dan Raga
Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma mengatakan, raga atau tubuh sebagai persembahan yang hidup kepada Allah. Keberadaan kita di dunia ini, untuk memperbaharui budi dan mengetahui serta selalu mencari kehendak Allah dalam menemukan yang baik dan sempurna.
Bahwa kita manusia ini hanya sebatas raga atau tubuh jasmaniah yang tanpa arti. Raga atau jasmaniah ini hanyalah seonggok daging yang sama dengan makhluk lain. Tetapi kita perlu melihat ke dalam, bahwa di dalam raga jasmaniah ini ada jiwa dan roh yang selalu membuat kita menjadi lebih sempurna dan baik adanya.
Paus Yohanes Paulus II mengajak kita menghargai raga atau tubuh jasmaniah ini dalam satu kesatuan yang mendalam, bahwa di dalam tubuh ada kesucian yang harus senantiasa kita junjung, karena Allah telah menciptakan kita dengan rencana yang indah, “…..tubuh sesungguhnya mampu membuat kita melihat apa yang tidak kelihatan, yang spiritual dan yang ilahi. Tubuh telah diciptakan untuk menyalurkan ke dalam dunia yang kelihatan ini, misteri yang tersembunyi sejak awal dalam diri Allah…. Dan karena itu tubuh menjadi tanda bagi misteri itu. Raga atau tubuh jasmaniah merupakan tanda pernyataan diri Allah dan rencana-Nya bagi umat manusia”.
Di dalam raga atau tubuh jasmaniah kita ini, ada jiwa dan roh yang perlu terus kita pelihara. Jiwa dan roh inilah yang memungkinkan kita mempunyai perasaan, kehendak, dan pemikiran yang membedakan kita dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. Jika kita lihat kisah Kejadian, begitu indah dilukiskan bagaimana Allah menciptakan manusia. Allah telah “membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan napas hidup ke dalam hidungnya, demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej 2:7). Embusah napas inilah yang memberikan kita kehidupan. Napas dari “Yang Mahakuasa” yang memberikan hidup (Ayb 33:4); yang diembuskan-Nya ke dalam lubang hidung dari tubuh Adam yang belum bernyawa. Napas inilah yang menjadikan kita mempunyai “roh” sehingga membuat kita menjadi manusia yang berjiwa dan hidup.
Sebagai pribadi, manusia mempunyai tiga unsure penting yang tak bisa dilepaskan, yaitu roh, jiwa, dan raga. Manusia adalah kesatuan ketiganya tidak bisa dipisahkan, hal ini memberikan makna kepada kita, bahwa pribadi manusia sebagai suatu yang bersifat imani dan suci terhadap raga. Dengan roh-jiwa ini, maka setiap pribadi manusia lebih bermartabat dan luhur.
Raga yang kita miliki adalah kudus adanya. Walaupun raga ini mempunyai keterbaatasan-keterbatasan alami, seperti kecacatan dan rasa sakit, yang pada akhirnya akan rentan, tatapi raga ini adalah Bait Suci kita. Di dalamnya ada Roh Allah yang bekerja bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi kita. Tentu bait Allah adalah kudus dan suci, demikian tubuh kita haruslah kudus dan suci. Raga kita adalah tempat di mana Roh Allah diam di dalam hati kita. Tubuh kita adalah milik Tuhan serta menjadi tempat Tuhan bersemayam dan berkarya mengadirkan karya keselamatan-Nya.
Maka kita perlu memahami tubuh kita yang terdiri dari raga, jiwa dan roh. Kita perlu memikirkan apa arti hidup dan bagaimana kita memandangnya, kalau kita tidak memiliki arti hidup atau salah memandangnya, orang juga tidak akan mengerti tubuhnya atau menyalahgunakan tubuhnya sendiri. Tubuh kita bukan untuk direndahkan bergitu rupa atau digunakan untuk sesuatu yang sia-sia dan tidak berarti. Kita perlu menyadari bahwa kita memiliki roh, jiwa dan raga yang tak terpisahkan, sehingga dengan demikian kita juga memiliki perasaan, pemikiran dan kehendak.
2. Kemampuan dasar Manusia, Pikiran, Perasaan, Kehendak, dan Tindakan.
Roh, jiwa, dan raga tak terpisahkan dan menjadi satu kesatuan did ala tubuh kita. Kita bukanlah seperti robot, pribadi yang tak bernyawa, tetapi mempunyai pikiran, perasaan, kehendak, dan tindakan. Karena mempunyai pikiran, prasaan, kehendak, dan tindakan inilah yang membuat manusia “lebih” dibandingkan dengan segala makhluk yang ada di bumi. Banyak gambaran yang muncul mengenai manusia. Manusia sering disebut sebagai homo ssapiens, yang berarti manusia yang arif, karena memiliki akal budi dan mengungguli makhluk yang lain. Manusia sering juga disebur sebagai homo faber, karena mampu menggunakan berbagai alat yang ada dan menciptakannya. Sering juga manusia disebut sebagai homo ludens, yaitu makhluk yang suka bermain. Begitu juga dengan sebutan lain, homo symbollicum dan homo socio-economicus, karena manusia mampu mencipta dan berkomunikasi dengan symbol-simbol, dan mengelola materi hidupnya.
Manusia mempunyai pikiran dan kehendak. Kehendak merupakan bentuk dorongan hati untuk melakukan sesuatu hal, baik itu dipengaruhi oleh nilai-nilai positif kebajikan atau memang negatife. Di dalam kehendak ada kemauan dan keinginan. Kemauan lebih merupakan dorongan untuk melakukan sesuatu karena ada pengaruh dari luar diri. Kemauan mengindikasikan adanya suatu tindakan yang akan dilakukan sebagai reaksi atas tawaran tertentu dari luar dirinya. Sementara keinginan, dari kata dasar ‘ingin’, menunjukkan adanya suatu kebutuhan terhadap sesuatu, bukan hanya kebutuhan melainkan juga adanya dorongan untuk memuaskan diri. Kehendak manusia memiliki dua pemahamam. Pertama, bahwa kehendak itu bersifat dorongan fitrah atau naluriah yang bersifat sosial. Kedua, sering disebut sebagai keinginan. Biasanya menggambarkan kehendak yang bersifat lebih egoistik.
Pemikiran dan kehendak inilah yang membawa kita menjadi manusia yang juga berperasaan dan sekaligus mampu untuk bertindak. Perasaan yang ada bukan hanya terbatas pada cinta, marah dan sedih, namun banyak ungkapan perasaan. Perasaan menggambarkan ungkapan hati seseorang yang kuat akan suatu hal, baik yang bersifat menyenangkan atau menggelisahkan. Perasaan inilah yang membuat kita luhur, bermartabat, dan unik. Tentu semua itu dilatarbelakangi oleh pemikiran hati yang ada di dalam diri kita. Setiap perbuatan atau tindakan kita selalu dituntun oleh hati dan pikiran kita. Pikiran yang memerintahkan sesuatu di dalam diri kita untuk melakukan sesuatu. Apa pun sisi perintahnya, hati dan pikiran selalu mempengaruhinya. Kualitas tindakan kita sangat tergantung pada kualitas hati dan pikiran kita. Benar atau salahnya ditentukan oleh penilaian pikiran. Baik atau tidaknya berada di bawah wewenang hati. Dalam Ijil Matius dikatakan, “Mata adalah pelita tubuh, jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu, jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu…”. Pikiran dan hati merupakan ‘mata’ bagi diri kita dalam melakukan tindakan yang berikutnya, apakah itu baik atau buruk.
Dengan kesadaran, manusia dapat memahami semua perilaku dan tindakannya. Hanya saja untuk selalu bertindak dan berperilaku baik, manusia harus memiliki tidak saja kesadaran semata tetapi lebih dari itu yaitu kesadaran moral. Atas kesadaran moral itulah manusia dapat memilih itndakan yang baik dan buruk. Dengan kesadaran moral ini manusia akan merasa wajib untuk berbuat baik tanpa paksaan dan tekanan dari manapun juga, semua didasarkan atas keputusan hati nuraninya.
C. Aku Mengembangkan Karunia Allah.
Setiap manusia mempunyai kemampuan, dan bakat dalam ukurun dan lingkungan tertentu, dengan sifat, karekter, pemikiran, dan perasaannya masing-masing. Kemampuan dan bakat seseorang haruslah dikembangkan dan digunakan karena merupakan Tuhan yang luar biasa yang selalu harus dikembangkan.
1. Belajar Mengembangkan Bakat, Pengetahuan, Kerohanian dan Ketrampilan
Perlu disadari bahwa kita mempunyai kekuatan (pengetahuan dan bakat), sifat, dan karakter pribadi yang unik, yang telah ada dan berkembang di dalam diri kita. Segala kemampuan dan bakat tersebut, hendaknya dikembangkan dan digunakan karena merupakan anugerah dari Allah yang pantas kita syukuri. Allah menghendaki agar bakat, kemampuan, kekuatan atau “talenta” yang kita punyai, terus dikembangkan dan digunakan. Dalam Injil; Matius (Mat 25:14-30). Perumpamaan ini menceritakan tentang seorang tuan yang mempercayakan uangnya kepada ketiga hambanya. Hamba yang pertama dipercayakan lima talenta, yang kedua dipercayakan dua, yang ketiga dipercayakan satu. (dalam kitab Lukas disebutkan sang tuan membagikan sepuluh mina kepada sepuluh hambanya, masing-masing menerima satu mina, namun pada akhirnya hanya tiga pula yang diceritakan). Setelah itu sang tuan pergi. Diceritakan hamba yang pertama yang dipercayakan lima talenta berhasil memperoleh laba lima talenta, sementara hamba yang kedua yang dipercayakan dua talenta berhasil memperoleh laba dua talenta, namun hamba yang ketiga yang dipercayakan satu talenta menyembunyikan uangnya sehingga tidak mendapat laba apa-apa. (dalam kitab Lukas disebutkan hamba I memperoleh laba 10 mina, hamba II memperoleh laba 5 mina, sedangkan hamba III juga menyimpan uangnya.) Setelah sang tuan kembali dan bertemu dengan hamba pertamanya, maka sang tuan memberinya tanggung jawab yang lebih besar (dalam kitab Lukas disebutkan ia diberikan sepuluh kota), lalu hamba keduanya juga diberikan tanggung jawab yang lebih besar (dalam kitab Lukas disebutkan ia diberikan lima kota), tetapi hamba yang ketiga dihukum, dan uang yang dipercayakan kepadanya diberikan kepada hamba yang pertama.
Perumpamaan itu menyadarkan kita agar selalu mengembangkan segala hal yang sudah kita punyai dan kita dapatkan demi perkembangan diri kita sendiri dan orang lain di sekitar kita. Kita hendaknya percaya, bahwa kita telah diberkati dengan karunia yang berbeda-beda sesuai kemampuan kita masing-masing. Karunia-karunia itu harus kita gunakan untuk melayani Allah dan sesame kita. Sebab dengan menggunakan dan mengembangkan talenta sebagaimana mestinya adalah panggilan dan tuntutan kristiani. Menolak kehendak Allah atas diri kita dapat menjadi penghalang bagi kemajuan diri kita sendiri dan menjadi rintangan jalan kita menuju Allah. Kita hendaknya menerima kehendak Allah yang nyata dalam diri kita. Kita percaya bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana-Nya (Lih Rom 8:28).
Menerima kehendak Tuhan berarti menerima bimbingannya, karena Dia akan mengantar kita setapak demi setapak melalui keadaan konkrit diri kita dan lingkungan kita menuju ke keselamatan. itu semua akan terjadi sejauh kita menerima dan melaksanakan kehendak-Nya. Itu semua akan terjadi sejauh kita mampu mengembangkannya. Selain bakan dan ketrampilan, kita juga memiliki pengetahuan dan kerohanian, yang senantiasa harus dikembangkan pula. Seperti yang telah dikatakan St. Paulus bahwa kita harus terus mengusahakan pembaharuan akal budi kita, agar akal budi kita lelalu diresapi oleh nilai-nilai kebaikan. “Janganlah kami menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rm 12:2).
2. Bersyukur dan Mempersembahkan Hidup berdasarkan Karunia Allah.
Menjadi yang terbaik merupakan keinginan dan harapan banyak orang, tetapi tidak semua orang akhirnya mampu meraihnya. Kadang kita berfikir, menjadi terbaik itu bukan milik semua orang. Tetapi, kita harusnya menyadari bahwa kita semua diberkati dan diberi karunia yang luar biasa dari Allah. Dalam Suratnya kepada jemaat di Roma Santo Paulus mengajarkan, yang penting bukan menjadi yang terbaik, tetapi mempersembahkan yang terbaik dari diri kita (Rom 12:1-8). Allah mengaruniakan talenta, yang berbeda-beda kepada setiap orang, dan kita perlu mengenalinya, mempergunakan dan memperkembangkannya untuk melakukan yang terbaik dalam melayani Allah dan sesame, agar mampu menjadi berkat. Malakukan yang terbaik sesuai dengan talenta atau kemampuan kita merupakan wujud dari rasa syukur atas karunia yang sudah kita terima dari Allah, secara terus menerus.
Kita bersyukur dan mempersembahkan karunia yang kita punyai sesuai dengan panggilan hidup kita. Paus Benediktus XVI, menyadarkan kita, bahwa panggilan hidup adalah inisiatif Allah, prakarsa Allah, anugerah Allah. Manusia menjawab panggilan Allah, bekerka sama dengan rahmat dalam sikap I,am, percaya, pasrah diri, dan dengan penuh harapan mengusahakan pembaruan secara terus-menerus. Semua dari kita dipanggil untuk menjadi Anak Allah. Menjadi Anak Allah sesungguhnya merupakan kasih karunia Allah, bukan hanya karena diciptakan oleh Allah, melaikan karena dicintai dan diberi hidup oleh Allah.

Tidak ada komentar:

Belajar Menulis "Menunggu..."

Pelatihan Belajar Menulis Menulis di Kompasiana   Tak terasa sudah beranjak malam, ketika saya keluar dari ruang perawatan di salah sa...