Senin, 24 September 2012

Gereja Persekutuan yang Terbuka

Paham Gereja sebagai umat Allah, membuahkan bagaimana Gereja kita sekarang ini dikembangkan dan bersikap. Khususnya menyangkut bagaimana pola kepemimpinan Gereja. Pada bagian ini kita akan melihat dan mengenal model-model yang dikembangkan dalam kepemimpinan Gereja kita, dan bagaimana persatuan itu dibangun dari anggota dan para pemimpinnya dalam keterbukaan dan partisipasi sebagai umat beriman untuk berkarya bagi dunia. 1. Perubahan Cara Pandang tentang Model Gereja Sebelum Konsili Vatikan II, Gereja kita dipahami dengan begitu piramidal, bahwa yang sedikit berada di atas dan menguasai yang bawah. Walau sedikit tetapi menguasai. Dalam pola pikir yang demikian, hierarki inilah yang berkuasa menentukan segala sesuatu bagi seluruh Gereja, sedangkan kaum awam atau umat pada umumnya tinggal mengikuti. Seringkali, model ini lebih cenderung “pastor sentris”. Hierarki atau pastor menjadi pusat semua gerak Gereja. Gereja model piramidal ini sering disebut sebagai Gereja Institusional. Model Gereja ini menonjol atau dikenal karena tertata rapi, dan para hierarki hampir identik atau disamakan dengan Gereja itu sendiri. Mereka yang tertabhis memegang kepemimpinan dan mengendalikan Gereja dengan cakupan wewenang yang luas. Biasanya karena lebih mementingkan aturan. Gereja menjadi statis dan sarat aturan. Gereja sering meresa sebagai satu-satunya penjamin kebenaran dan keselamatan (Extra Eclesiam Nulla Salus), bahkan bersikap triumfalistik. (memegahkan diri). Pada Konsili Vatikan II, pandangan Gereja yang lebih piramidal ini akhirnya diperbaiki. Ada keterbukaan dan pembaruan cara pandang. Gereja dipahami bukan lagi sebagai Gereja Piramidal yang lebih “hierarki sentris”, tetapi diubah menjadi “Kristosentris”. Artinya, Kristuslah pusat hidup Gereja. Kaum hierarki dan awam serta biarawan/biarawati mengambil bagian dalam tugas Kristus dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan potebsi dan kemampuannya. Hal inilah yang akhirnya membawa Gereja dipandang sebagai persekutuan umat atau umat Allah. Dengan persekutuan umat sebenarnya mau mengungkapkan persaudaraan yang dilandasi oleh kasi. Setiap anggota Gereja melibatkan diri dalam tugas masing-masing untuk membangun Gereja. Tida ada yang merasa lebih hebat atau merasa paling memiliki wewenang, tetapi seluruh umat terjun membangun persekutuan hidup. Tidak hanya sekedar aturan dan hukum dalam hidup menggereja, tetapi yang lebih penting adalah tumbuh dan berperannya hati nurani dan tanggung jawab atas perkembangan Gereja. Gereja bersikap terbuka dan rela berdialog untuk semua orang. Gereja menyakini bahwa di luar Gereja terdapat keselamatan. 2. Gereja sebagai Persekutuan Umat yang Terbuka Gereja adalah persekutuan Umat Allah. Dalam persekutuan umat itu, semua nggota mempunyai martabat yang sama, memiliki fungsi yang berbeda-beda, dan semakin terbuka terlibat mewarnai dunia. Gereja hadir dan berada untuk dunia. Kegembiraan dan harapan, dukan dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid-murid Kristus. Sebab persekutuan murid-murid Kristus terdiri atas orang-orang yang dipersatukan di dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan menuju Allah Bapa. Semua murid Kristus telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang (bdk. Gaudiumet Spes art. 1). Panggilan Gereja yang utama ialah menjadi utusan Krustus untuk menampakkan dan menyalurkan cinta kasih Allah kepada semua orang dan segala bangsa. Tugas perutusan ini adalah tugas seluruh umat Allah (LG art 17), masing-masing seturut kemampuannya. Baik kaum hierarki maupun kaum awam serta biarawan-biarawati mendapat tugas perutusan yang sama. Konsili menegaskan dengan jelas kewajiban ini, yaitu untuk umat Allah yang hidup dalam jemaat-jemaat, terutama dalam keuskupan-keuskupan dan paroki-paroki, jemaat-jemaat wajib memberi kesaksian akan Kristus di hadapan segala bangsa. Persekutuan umat Allah harus menampakkan karya keselamatan Allah di dunia ini. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Gereja menjadi tanda dan sarana (sakramen) keselamatan bagi dunia. Setiap anggota Gereja dengan caranya sendiri terlibat dan menggeluti persoalan-persoalan dunia untuk membangun dan menyejahterakan umat manusia, setiap anggota Gereja mendapat tugas berdasarkan potensi dan kemampuannya bagi terciptanya tata dunia yang lebih baik. Dengan demikian anggota Gereja sungguh menyadari bahwa bukan hanya dirinya satu-satunya yang terlibat di dalam masyarakat dengan segala persoalan yang ada. Gereja pada zaman sekarang harus menjadi persekutuan yang terbuka. Dan perlu disadari pentingnya ketebukaan, bukan hanya keterbukaan dengan sesama dalam iman dan keyakinan melaikan keterbukaan terhadap agama yang lain, artinya kita membuka berbagai kemungkinan dialog dan kerjasama yang baik dengan segala pihak yang berjuang bersama. Dalam dialog iman dan kerjasama lintas agama, dapat menumbuhkembangkan realitas sosial sebagai milik bersama. Dialog kehidupan dan karya yang dikembangkan dapat menjadi tempat kerja sama dalam menyikapi persoalan-persoalan kemanusiaan dan sosial kemasyarakatan demi memajukan kita semua sebagai manusia ke taraf yang lebih manusiawi dan luhur. Dalam Kisah Para Rasul 4:32-37, Santo Paulus memberikan gambaran ideal tentang suasana dan cara sebuah persekutuan umat perdana. Cara hidup umat perdana memberikan kita buah kesadaran bahwa kebersamaan dalam persekutuan itu penting. Hal-hal yang dapat terlihat, misalnya, segala sesuatu adalah milik bersama, hidup dalam persaudaraan kasih, saling memberi dan menerima sesuai kebutuhan, terbuka untuk semua orang, semangat dan keteladanan inilah yang dapat kita contoh, yaitu kepekaan terhadap situasi sosial-ekonomi sesama saudara dalam persekutuan umat. Kebersamaan kita dalam hidup menggereja tidak hanya terbatas pada hal-hal rohani, tetapi juga harus menyentuh kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Persekutuan umat Allah harus terbuka dan menyentuh relung jiwa setiap anggotanya. Gereja hadir di dunia bukan untuk dirinya sendiri, melainkan bagi dunia itu sendiri. Dalam persekutuan mereka mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarannya (bdk: gaudium et spes, art 1) karena, persekutuan mereka terdiri atas orang-orang yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam perziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Cara-cara yang ditempuh Gereja untuk menunjukkan keterbukaannya: pertama, Berdialog dengan agama lain. Gereja sesudah Konsili Vatikan II sungguh menyadari bahwa di luar agama Katolik terdapat pula benih-benih kebenaran dan keselamatan. Untuk itu dibutuhkan dialog untuk saling mengenal, menghargai dan memperkaya. Kedua, Kerja sama atau dialog. Gereja hendaknya membangun kerjasama yang lebih intensif dan mendalam dengan para pengikut agama-agama lain. Sasaran yang hendak diraih adalah pembangunan manusia dan peningkatan martabat manusia. Berprestasi secara aktif dan bekerja sama dengan siapa saja dalam membangun masyaarkat yang adil, damai dan sejahtera. Lebih rinci untuk dapat menghayati konsekuensi Gereja sebagai umat Allah dan pesekutuan yang terbuka, kita juga perlu melihat lebih detil atas konsekuensi yang harus dihadiapi dari setiap anggota umat Allah. a. Hierarki Gereja. Adalah orang yag ditabhiskan untuk tugas kegembalaan. 2 tugas hierarki adalah; pertama, menjalankan tugas kepemimpinan dalam komunikasi iman. Hierarki mempersatukan umat beriman, tidak hanya petunjuk, nasehat dan teladan tetapi juga dengan kewibawaan dan kekuasaan kudus. Kedua, Hirarki menjalankan tugas-tugas gerejani, seperti merayakan sakramen, mewartakan sabda, serta memberi ruang dan tempat bagi umat untuk berperan aktif dalam ikut membangun Gereja dengan kharisma dan karunia yang mereka miliki. Gereja yang satu, kudus, Katolik dan apostolik di dunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, lebih khusus lagi sebagai suatu “serikat yang dilengkapi dengan jabatan hierarkis” (Lumen Gentium 8). Menurut ajaran resmi Gereja, struktur hierarkis termasuk hakikat kehidupannya juga. Maka Konsili mengajarkan bahwa “atas penetapan Ilahi, para Uskup menggantikan para Rasul sebagai gembala Gereja” (Lumen Gentium 20). “Konsili suci ini mengajarkan dan menyatakan, bahwa Yesus Kristus, Gembala Kekal, telah mendirikan Gereja kudus, dengan mengutus para Rasul seperti Ia sendiri diutus oleh Bapa (lih. Yoh 20:21). Para pengganti mereka, yakni para Uskup, dikehendaki-Nya menjadi gembala dalam Gereja-Nya hingga akhir zaman” (Lumen Gentium 18). b. Biarawan-biarawati Adalah anggota umat yang mengucapkan kaul kemiskinan, ketaatan dan keperawanan selalu bersatu dengan kristus dan menerima pola nasib hidup Yesus secara radikal. Para biarawan-biarawati menjadi tanda nyata hidup dalam Kerejaan Allah c. Kaum Awam Kaum Awam; adalah: semua orang beriman sebagai warga gereja yang tidak ditahbiskan Jadi awam meliputi biarawan, biarawati seperti suster, bruder (definisi teologis) . Kaum awam adalah semua warga Gereja yang tidak ditahbiskan dan juga bukan biarawan- biarawati (definisi tipologis) yang dengan rahmat pembaptisannya mereka menjadi anggota gereja dan dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas kristus sebagi imam, nabi dan raja. Kaum awam berperan dalam dalam dua tugas kesarusal, baik kerasulan dalam membangun jemaat serta kerasulan dalam tata dunia. Gereja tidak hadir di dunia untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk dunia yang menjadi peranan kaum awam. Berdasarkan panggilan khasnya, awam bertugas mencari Kerajaan Allah dengan mengusahakan hal-hal duniawi dan mengaturnya sesuai dengan kehendak Allah. Mereka hidup di dunia, yakni dalam semua dan setiap jabatan serta kegiatan dunia. Mereka dipanggil untuk menjalankan tugasnya dan dibimbing oleh semangat injil, mereka dapat menguduskan dunia laksana ragi. Medan tugas mereka adalah tata dunia, hidup berkeluarga dan bermasyarakat serta hidup dalam segala bidang keduniawian ipoleksosbuhankamnas. Struktur Kepemimpinan Hirerki Gereja : Dewan para Uskup, dengan Paus sebagai kepalanya pada akhir masa Gereja perdana, sudah diterima bahwa para uskup adalah pengganti para rasul. tetapi tidak berarti bahwa hanya ada dua belas uskup. Tugas dewan para uskup adalah menggantikan dewan para rasul, yang menjadi pimpinan Gereja adalah dewan para Uskup. Sebagai ketua dewan rasul adalah Petrus. Paus, Adapun dewan para uskup adalah dia yang bersatu dengan imam Agung di Roma pengganti Petrus. Sebagai tugas imam agung di Roma adalah sebagai wakil Kristus dan gembala Gereja semesta, mempunyai kuasa penuh, tertinggi dan universal terhadap Gereja. Uskup, Tugas pokok uskup adalah mempersatukan dan mempertemukan umat. Tugas tersebut dibagi dalam tiga tugas, yaitu : pewartaan, perayaan dan pelayanan. Sedangkan pembantu Uskup adalah Para imam adalah wakil uskup. Tugas konkrit imam sama seperti uskup, untuk mewartakan Injil dan menggembalakan umat beriman. Para Diakon : adalah pembantu khusus uskup di bidang materi. Mereka yang ditumpangi tangan bukan untuk imamat, melainkan untuk pelayanan Kardinal adalah penasihat utama Paus, membantu paus terutama dalam reksa harian seluruh Gereja. Kepemimpinan Gereja bercorak 1). Kepemimpinan dalam gereja merupakan suatu panggilan khusus. 2). Kepemimpinan dalam gereja bersifat mengabdi dan melayani dalam arti semurni-murninya. 3). Kepemimpinan hierarki berasal dari Tuhan, maka tidak dapat dihapus oleh manusia. Dalam Konsili Vatikan II, ada 3 hal penting dan menjadi dasar persekutuan umat Allah yang terbuka, “fraternitas” (persaudaraan), solidaritas (kesetiakawanan) dan komunikasi (persekutuan). Dasar persekutuan tersebut adalah iman. Gereja sebagai persekutuan dalam iman, harapan dan kasih (Lumen Gentium art 8). Gereja juga disebut sebagai persekutuan orang-orang yang sudah dikuduskan oleh Kristus dengan misteri salib-Nya, sehingga umat Allah mewujudkan sebuah komunitas keselamatan bagi dunia.

Minggu, 23 September 2012

Gereja Umat Allah

Berdasarkan pengalaman dan pembicaraan sehari-hari kita mendapati ada dua gambaran dan pemahaman mengenai Gereja, yaitu gereja sebagai tempat untuk beribadah (berupa gedung/bangunan) dan Gereja sebagai suatu persekutuan umat (kumpulan umat beriman). Hal tersebut tidak hanya dalam arti fisik, melainkan dalam arti yang lebih rohani. Meskipun terdapat dua pengertian mengenai Gereja, dalam banyak pembicaraan dan tulisan sebenarnya arti Gereja yang kedualah yang lebih sering dimaksudkan. Mengapa demikian? Tentu ada alasannya mengapa istilah Gereja lebih sering dimaksudkan sebagai persekutuan umat daripada sebagai tempat. Untuk itu, kita akan diajak memahami apa arti dan makna Gereja itu, asal usulnya, ciri dan dasarnya, serta berbagai konsekuensi yang dikembangkan. 1. Arti dan Makna Gereja Sebagai Umat Allah. Jika mendengar kata “Gereja”, yang terbayang dalam pikiran kita tentulah sebuah gedung atau kumpulan orang, yang secara spontan, Gereja dihubungkan dengan gedung tempat orang Kristiani beribadat, tempat untuk merayakan ekaristi dan melangsungkan doa-doa. Jika ditulis dengan huruf kecil “gereja’ berarti bangunan tempat beribadat, sedangkan jika ditulis dengan huruf besar, “Gereja”, dimaksudkan lebih kepada kumpulan orang. Namun demikian gambaran tersebut belum mengungkapkan hakikat Gereja yang sebenarnya. Kata Gereja dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan kata igreja dalam bahasa Portugis. Kata igreja dalam bahasa Portugis pun merupakan terjemahan kata ecclesia dalam bahasa Latin. Dan kata ecclesia itu sendiri juga merupakan terjemahan kata Yunani ekklesia. Dalam bahasa Yunani kata ekklesia bisa berarti rapat, sidang, perkumpulan atau berkumpul. Dengan kata lain, kata ekklesia sebagai asal mula kata Gereja berhubungan dengan orang-orang yang berkumpul. Tetapi dalam konteks agama Kristen, orang-orang yang berkumpul itu memiliki kekhasan karena mereka dipersatukan oleh iman yang sama, yaitu iman kepada Yesus Kristus. Itulah sebabnya mengapa kata Gereja lebih sering dipahami sebagai persekutuan umat daripada sebagai tempat, meskipun dalam perkembangan selanjutnya gereja juga diartikan sebagai tempat bersekutunya orang-orang yang beriman kepada Yesus Kristus itu. Maka, kata ekklesia atau Gereja dipakai sebagai kata yang berarti “jemaat atau umat yang dipanggul secara khusus”. Gereja adalah umat yang dipanggil Tuhan. Pengertian Gereja sebagai “Umat Allah bukan semata-mata fisik, melainkan yang rohani. Kita perlu tahu bahwa Gereja adalah umat Allah. Gereja adalah umat terpilih dari Allah. Sebutan umat Allah menekankan pada dua hal penting, pertama, bahwa Gereja bukanlah pertama-tama organisasi manusiawi, melaikan perwujudan karya Allah yang konkret. Tekanan ada pada pilihan dan kasih Allah. Kedua, Gereja itu bukan hanya awam dan hierarki saja, melainkan seluruhnya sebagai umat Allah. 2. Ciri-ciri Gereja Sebagai Umat Allah. Untuk dapat menemukan ciri-ciri Gereja sebagai umat Allah, kita dapat menemukan dan melihat pengertian Gereja, kemudian menjabarkan unsur-unsur yang membentuk Gereha. Dikatakan sebagai umat Allah, karena inisiatif pertama datang dari Allah sendiri, Allah memilih umat-Nya menjadi bangsa pilihan-Nya, Umat Allah dipilih oleh Allah sendiri, melalui iman akan Yesus Kristus. Dengan demikian ciri umat Allah yang pertama adalah bahwa panggilan itu berasal dari Allah. Tujuan Allah memanggil umat-Nya adalah untuk menyelamatkan dunia, dengan memilih manusia mau menunjukkan kepada manusia hubungan atau komunikasi antara Allah dan manusia. Hubungan itu telah diperjelas dalam diri Kristus. Demikian juga Gereja memperjelas hubunngan atau komunikasi Allah dan manusia dalam Lumen Gentium art 1. ”Gereja itu di dalam Kristus bagaiman sakramen, yaitu tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh manusia”. Sebagai tanda dan sarana, Gereja harus dapat dinikmati oleh indra manusia. Lewat tanda dan sarana tersebut, sebenarnya mau diungkapkan sesuatu yang mendalam. Bila Gereja sebagai tanda dan sarana, yaitu sebagai sakramen, berarti keberadaan Gereja mengungkapkan kesatuan mesra antara manusia dengan Allah. kesatuan itu menjadi ciri kedua yang membuat Gereja disebut sebagai Umau Allah. kesatuan yang membawa karya keselamatan bagi seluruh manusia. Pada intinya Gereja bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan agar karya keselamatan menjangkau semua orang diseluruh dunia dalam hubungannya dengan Allah atau sesama manusia. Dalam perjalanan sejarah, hubunngan mesra Allah dengan manusia dimateraikan atau diresmikan dalam suatu perjanjian yaitu perjanjian cinta kasih (ciri ketiga). Cinta kasih menjadi dasar perjanjian manusia dengan Allah. Sebagaimana digambarkan bagaimana bangsa Israel melakukan perjalanan menuju tanah terjanji. Demikianlah juga Gereja sebagai umat Allah berciri selalu dalam perjalanan menuzi perziarahan ketanah terjanji, yaitu rumah Bapa. (ciri keempat) Dengan demikian, ciri Gereja sebagai umat Allah terlihat dari panggilan dan inisiatif Allah, persekutuan, hubungan mesra antara manusia dengan Allah, karya keselamatan dan perziarahan yag tak kunjung habis menuju rumah Bapa. 3. Dasar dan Konsekuensi Gereja sebagai Umat Allah. Jika Gereja sebagai Umat Allah, maka ada dasar dan konsekuensi yang terus dikembangkan. Sebagai umat Allah, tidak lagi terbedakan mereka yang tertabhis dan non tertabhis, biarawan/biarawati. Kesatuan tidak lagi didasarkan pada struktural organisatoris melainkan pada Roh Allah sendiri yang telah menjadikan Umat-Nya sebagai bangsa terpilih. Dengan demikian kita diajak untuk menyadari bahwa sebagai warga umat Allah, kita masing-masing secara pribadi dipanggil untuk melibatkan diri secara penuh dalam kehidupan menggereja. Hal ini yang menjadi dasar dan konsekuensi penting, jika Gereja sebagai umat Allah. Pertama, hidup menjemaat pada dasarya merupakan, hakikat Gereja itu sendiri, sebab hakikat Gereja adalah persaudaraan dan cinta kasih seperti yang dicerminkan oleh hidup jemaat perdana (Kis 2:41-47). Kedua, perlu disadari bahwa hidup menggereja atau menjemaat, ada banyak karisma atau karunia yang tumbuh dan berkembang dikalangan umat yang dapat dilihat adn diterima dan digunakan sedemikian rupa demi kekayaan seluruh anggota Gereja. Lih. 1Kor 12:7-10). Ketiga, dalam hidup menjemaat, kita semua memiliki martabat dan tanggunngjawab yang sama dan secar aktif terlibat sesuai dengan fungsi masing-masing. Hal ini diperlukan agar kita bisa membangun hidup menjemaat kita dan memberi lebih banyak kesaksian kepada masyarakat di sekitar kita. (lih. 1Kor 12:12-18). Pada intinya, kita masing-masing dipanggil untuk melibatkan diri secara penuh dalam kehidupan umat Allah. melibatkan diri berarti terlibat dalam hidup “menjemaat”. Artinya kita bersama-sama terlibat dalam satu persekutuan yang dihidupi oleh kasih, bukan karena kuasa dan wewenang. Kasih menjadi dasar dan sarana yang menyatukan kehidupan menjemaat. Aktivitas dan tindakan kita harus selalu diperkaya oleh rupa-rupa roh dan karunia/karisma. Ropa-rupa roh dan karunia saling melengkapi sehingga menjadi kebanggaan bersama dan bisa menjadi milik bersama. Setiap dari kita dipanggil untuk menghayati martabat yang sama, yaitu sebagai umat yang dipilih oleh Allah. kita diajak untuk setia terhadap funngsi kita masing-masing tanpa harus merasa lebih dari yang lain. Masing-masing dari kita harus membangun Gereja umat Allah dan memberi kesaksian kepada masyarakat luas. Gereja yang bersaksi adalah gereja yang telah disatukan oleh Roh Allah. Gereja sebagai Umat Allah menjadikan Gereja kita terbuka, saling bekerja sama di antara anggotanya, saling menghargai keberadaan, saling melengkapi atau berbagai potensi yang ada. Hal ini yang menjadi konsekuensi, bagaimana Gereja mengelola keterlibatan anggota-anggotanya serta peran sertanya. Oleh karena itu masing-masing dari kita baik yang tertabhis maupun yang tidak tertabhis perlu menyadari dan menghayati panggilan hidupnya sesuai dengan karunia dan karisma yang diterima akan pentingnya nilai persatuan dan kesatuan serta kerja sama dengan seluruh anggota umat Allah. Keterlibatan dan kerjasama semua anggota umat Allah dapat menjadi daya dorong yang penting untuk tumbuh dan berkembang membawa Gereja sebagai sakramen keselamatan.

Belajar Menulis "Menunggu..."

Pelatihan Belajar Menulis Menulis di Kompasiana   Tak terasa sudah beranjak malam, ketika saya keluar dari ruang perawatan di salah sa...